Powered By Blogger

Monday, March 29, 2010

Batak Traditional Wedding Ceremony


Pernikahan menurut adat batak toba bukanlah pekerjaan yang gampang karena menjalani proses dan prosesi yang cukup panjang. Dalam menjalankan adat tersebut, setidaknya ada tujuh kegiatan adat yang harus dijalani secara bertahap yang hampir semuanya melibatkan kedua belah pihak yaitu paranak dan parboru. Tahap pertama yaitu marhori-hori dinding, dilanjutkan dengan patua hata, martuppol/ria raja, pemberkatan nikah secara gereja kemudian marsibuha-buhai, pesta adat (marunjuk), paulakune diakhiri dengan acara adat tingkir tangga. Khusus dalam mengawinkan anak sulung, masih adalagi acara khusus yang harus dilakukan yaitu acara adat “Patiur atau Patio mata ni Mual”. Acara ini bermakna mohon ijin dan restu kepada tulang yaitu saudara dari ibu calon pengantin pria karena anak sulung bere (keponakan) akan menikah dengan gadis marga lain (bukan paribannnya). Pentingnya menggunakan acara adat patio mual tersebut, karena di zaman dahulu opsi pertama untuk dilamar/dinikahi seorang anak sulung laki-laki adalah anak perempuan dari paman/tulangnya. Oleh karena itulah seorang anak sulung wajib mohon ijin terlebih dahulu kepada tulangnya yang diyakini restu tulang akan melanggengkan dan mensejahterakan perkawinannya. Meskipun zaman telah berubah, acara ini masih saja dipertahankan oleh banyak marga hingga sekarang dan diyakini merupakan bagian dari adat itu sendiri . Selengkapnya dari proses dan prosesi ketujuh acara adat tersebut akan diuraikan di bawah ini

Marhori-hori Dinding

Marhori-hori dinding merupakan langkah awal dari pihak peranak untuk melakukan pendekatan kepada pihak parboru dalam menuju jenjang pernikahan. Dalam bahasa kini, mungkin acara tersebut akan lebih mudah dipahami bila disebut sebagai penjajakan tersebut akan dilakukan keluarga dekat sebagai perwakilan dari yang punya anak terdiri dari satu atau dua orang saudara dan kerabat, satu orang boru atau selendang yang diharapkan an yang terkait dengan itu. Berhubung yang datang itu statusnya adalah perwakilan dan hanya untuk tugas dan penjajakan, maka yang menerima mereka juga adalah perwakila dari pihak parboru. Dengan demikian apapun yang direncanakan dan dibicarakan dalam pertemuan tersebut hanyalah sebatas rancangan yang masih akan dibicarakan kembali dengan orang tua kandung kedua calon pengantin. Dalam hal belum terjadi kecocokan pada langkah pertama terutama mengenai mas kawin, maka kedua belah pihak masih memiliki kesempatan untuk mencapai kata sepakat. Jika kesepakatan ternyata tidak tercapai,disinilah yang sering terjadi pemutusan hubungan kedua insan yang dalam lagu batak sering disebut “Sirang Ala Sinamot Na soada” artinya putus cinta karena uang untuk kawin tidak ada. Sebaliknya jika pembicaraan tidak ada. Sebaliknya jika pembicaraan ternyata mencapai kesepakatan, acara akan dilanjutkan dengan apa yang dahulu disebut sebagai acara marhata sinamot akan tetapi belakangan ini lebih populer dikenal dengan nama patua hata.

Harus diketahui pada tahap awal tersebut, pelamar blum membawa makanan apa-apa dan mereka juga hanya akan disambut dengan hidangan minum secangkir teh atau kopi. Adanya acara marhori-hori dinding tersebut karena dahulu hubungan antara orang tua dan calon menantu, juga hubungan antara anak dan parboru masih sangat berjarak sehingga perlu ada pihak kedua sebagai perantara atau perintis menuju hubungan keluarga. Tugas marhori-hori dinding tidak lagi dilakukan oleh sebuah tim atau utusan paranak, tetapi sudah langsung diambil alih oleh paranak itu sendiri disertai saudara-saudara dekatnya.

Sangat menarik, bahwa adakalanya calon pengantin sendiri adakalanya sudah langsung ikut terlibat membicarakan rencana perkawinanya menyangkut waktu pernikahan, besarnya mas kawin_sinamot, pemilihan gedung pesta/resepsi hingga masalah jumlah ulos. Meskipun semuanya itu masih bersifat bias, setidaknya informasi tersebut tela menjadi bahan berharga bagi kedua belah pihak untuk mengetahui isi hati masing-masing yang kelak akan dibicarakan pada hori-hori dinding. Hal ini tentunya adalah akibat perubahan masyarakat batak saat ini, dimana calon pelamar tidak lagi dipandang sebagain orang asing, melainkan sudah dipandang sebagai sahabat. Denagn perubahan tersebut kini kedua calon pengantin telah menjadi mediator untuk keberhasilan mencapai cita-cita pernikahannya. Mungkin inilah sebabnya mengapa kini sudah tidak ada lagi tembang yan melantunkan lagu “ Sirang ala ni Hepeng Na Soada”. Calon mempelai sudah berperan agar orang tua masing-masing saling pengertian dan mendukung rencana mereka.

Dahulu secara keseluruhan biaya pernikahan sepenuhnya adalah menjadi tanggung jawab paranak dimana paranak dituntut memebiayai pernikahan anaknya. Kini pembiayaan pernikahan tidak lagi mutlak tetapi sudah biasa dengan subsidi silang dimana pihak parboru juga tidak sean-segan membantu biayapernikahan anak perempuannya. Perkembangan yang baru ini lebih sempurana lagi dengan adanya keterlibatan kedua calon penagntin menjadi mediator, apalagi kalau keduanya sudah bekerja yang memungkinkan biaya pernikahan mereka ditopang dengan menggunakan uangnya sendiri. Adapun buah tangan yang dibawa untuk acara marhori-horidinding, dahulu cukup dengan membawa kue atau buah-buahan. Namun belakangan sudah banyak yang membawa makanan untuk disantap bersama. Sedang topik yang akan dibahas yaitu berupa penegasan atau pernyataan niat untuk menikahkan kedua calon mempelai. Apabila pada pertemuan tersebut niat itu ternyata mendapat sambutan dari orangtua si wanita , pembicaraan akan dilanjutkan dengan mengutarakan kemampuan dalam menyediakan nilai mas kawin_sinamot.

Adapun prosesi selengkpnya dari acara tsersebut yang kini sudah umum berlaku kurang lebih sebagai berikut (dialog paranak-parboru).

Paranak (Ibu calon pengantin)

“Mungkin Eda dan Ito sudah mendengar adanya niat kedua anak kita untuk berkeluarga. Kami sendiri sanga setuju akan rencana itu. Bila Ito dan Eda setuju mungkin ada baiknya mereka ikat janji dahulu sambil menunggu kami apat mengumpulkan dana akan hal itu”

Parboru :

“Pada prinsipnya juga kami setuju. Tentunya soal dana itu sifatnya sangat relatif menurut adat. Ada Adat yang kecil dan ada juga Adat yang besar. Itu sangat tergantung kemampuan kita.
Kalau kami boleh tahu, kira kira berapa dana Lae-Ito yang sudah tersedia”


Paranak :

‘Maaflah Lae, terus terang kami tidak malu memberitahu kemiskinan kami. Bahwa kemampuan kami untuk memberikan mas kawin hanyalah sebesar Rp.........”

Dalam hal ini meskipun pihak paranak mempunyai kemampuan keuangan yang cukup untuk membiayai biaya pernikahan anaknya, biasanya penyebutan nilai atas mas kawin_sinamot tersebut harus disampaikan dengan nada merendah. Penyebutan angka tersebut hanyalah penegasan terhadap apa yang sudah pernah dibincangkan secara tidak resmi antara si calon pengantin pria dengan calon mertuanya.


Parboru :

“ Baiklah Lae-Ito, lalu apalagi yang ingin disampaikan.”

Paranak :

“Bila Lae berkenan , kami telah menyusun sejumlah rancangan sebagai berikut :
A. Acara pernikahan sifatnya alapon jual dimana penyelenggaraan adat di tempat Lae.
B Semua acara adat akan diselesaikan hanya dalam satu hari, setelah selesai pesta adat, langsung dilanjutkan dengan adat paulakune dan tinggir tangga.
C. Adapun besaran sinamot tersebut – boli atau tuhor ni boru yang mampu kami sediakan hanyalah Rp. 50.000.000,- sitombul rambu pinunggu. Artinya semua biaya sudah termasuk didalamnya.
D. Mengenai banyaknya helai ulos, itu terserah pada Lae. Namun agaknya kita sudah punya jumlah yang umum yaitu 17 helai.


Parboru (Orang tua Wanita)

Baiklah Lae, namun sebelum saya menjawab biarlah istri dan abang-adik saya laki perempuan dahulu yang memberi tanggapannya”

Ibu Si Wanita :

“Pertama kami berterima kasih atas kedatangan amang bao dan Eda serta rombongan dirumah ini. Kami dapat memahami usulan yang telah disampaikan. Kami dapat memahami usulan yang telah disampaikan. Namun harga-harga barang yang meningkat saat ini sungguh membuat kami sedikit pusing dengan usulan ini. Nah... kalu memang masih dimungkinkan maka kami juga masih berharap dana tersebut masih dapat ditambah.
Kerabat dekat parboru :

Memang benar, bahwa harga-harga saat ini sangatlah mahal, sewa gedung mahal, makanan mahal dan lain-lain semuanya mahal. Harapan kami tentunya dan sinamot tersebut masi dapat ditambah.

Paranak :

Terimakasih Lae Inang, Terus terang kami juga sangat sangat memahami akan hal itu. Namun apalah apalah daya kami bahwa betapa sakitnya tangan bila melemparkan sesutau yang tidak ada – (hampa). Dalam hal ini kami juga sudah siap dengan apapun adat yang dapat kami terima dari pihak Lae.”

Ayah Wanita :

Baiklah, saya sangat memahami pembicaraan kita ini yang pada hakekatnya adalah ingin mewujudkan kasih sesama anak-anak kita. Oleh karena itu baiklah inti perbincangan kita ini dicatat saja dahulu untuk nanti dapat digunakan sebagai pegangan pada acara Patua Hata.”




Catatan

Pada acara “Patua Hata” ada dua topik yang akan dibicarakan yaitu “Patua Hata dan Marhusip-husip na gogo”. Acara tersebut dinamai acara “Patua Hata” dimana hubungan muda-mudi ingin ditingkatkan untuk terciptanya hubungan antar orangtua dalam rangka menuju pernikahan anak mereka. Sedang acara “Marhusip-husip na Nagogo” adalah penyampaian persiapan sekaligus permohonan paranak agar kiranya pihak parboru berkenan memberi ijin dan restu untuk perencanaan pernikahan.
Patut dipahami bahwa dahulu kedua acara ini merupakan bagian yang terpisah dimana waktu untuk patua hata dan marhusip-husip nagogo dilakukan sendiri-sendiri.
Apabila acara “marhusip-husip na gogo” dapat disetujui parboru, maka disanalah pihak paranak Menurut aturan adat Batak tempo dulu, pola ini sangat menyalahi dan pembicaraan akan berlangsung alot dan saling tarik ulur. Namun seiring dengan perkembangan pemikiran modern, dimana calon pengantin juga sudah terlibat langsung maka cara seperti ini sudah dapat dibenarkan dan sudah umum dilakukan sat ini.

Patua Hata

Acara Patua Hata merupakan tahapan adat berikutnya setelah kedua belah pihak mengadakan acara marhori-hori dinding. Sifat adatnya yaitu melamar dengan jumlah lapisan kerabat atau keluarga yang lebih luas.
akan menyampaikan hasil pembicaraan ketika mengadakan acara “Marhori-hori dinding “ sekaligus menyampaikan rancangan adat meliputi sifat dari adat pernikahan apakah adat alap jual dimana pesta adat akan dilaksanakan dihalaman rumah/gedung parboru sedangkan acara adat taruhon jual acara pesta dirumah pihak paranak, paranak menyampaikan permintaan agar rangkaian acara adat dapat diselesaikan/dituntaskan pada satu hari itu juga ulaon sadari, Pihak Paranak menyatakan kemampuannya dalam menyediakan besarnya sinamot (mas kawin) da pihak paranak juga menyampaikan permintaan banyaknya helai ulos adat yang diiinginkan ketika acara pesta pernikahan adat kelak.

Empat poin di atas yang akan disampaikan pihak paranak manakala pelaksanaan adat sifatnya adalah alap jual. Sedang yang lain akan menjadi wewenang dan urusan parboru untuk menjelaskannya. Namun pelaksanaansifatnya adalah “taruhon jual”, maka paranak juga akan minta persetujuan dari pihak parboru mengenai Kurban ternak/panjuhuti yang akan dipotong apakah kerbau sapi atau babi, pada kesempatan yang sama juga paranak akan mengajukan permintaan agar aturan adat pembagian daging (jambar) dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku di tempat paranak dan pihak paranak juga akan mengajukan permintaan tentang jumlah undangan (kursi yang dapat disediakan untuk parboru).

Adapun aturan adat menyangkut prosesi penerimaan/penyambutan hula-hula, pengaturan menyangkut prosesi penerimaan/penyambutan hula-hula, pengaturan dan pengisian uang beras, termasuk penentuan jadwal waktu acara, semuanya akan dibicarakan secara terpisah. Berbeda halnya apabila sifat acara pesta pernikahan adalah “alapon jual” diamana usulan paranak hanyalah sebatas hanya yang diatas tadi, sedang lainnya ditetapkan oleh pihak parboru diantaranya korban ternak/panjuhuti, aturan adat pembagian daging (jambar), jumlah undangan (kursi) yang dapat disediakan untuk paranak, alat musik (gondang) yang akan dibunyikan menyambut hula-hula, semuanya menjadi wewenang parboru. Pada akhir penutup pada rangkaian acara “patua hata dan marhusip-husip na gogo” kedua parsianbul akan menegaskan hal tersebut sebagai tugas dan wewenang kedua belah pihak yang dapat dikomunikasikan kemudian.

Martupol

Martumpol adalah tahap lanjutan dari suatu proses pernikahan dimana jadwal pelaksanaannya sudah disepakati pada saat acara patua hata. Ada beberapa hal yang menjadi tujuan penyelenggaraan acara pranikah (martumpol) di gereja ini:

Pertama memberi pembekelan/pemahaman tentang iman dan moral keluarga kristen. Kedua penegasan apakah rencana pernikahan tersebut sudah menjadi tekad dan menjadi cinta yang tulus dan murni tanpa ada lagi hubungan asmara dengan pihak lain. Ketiga apakah kedua calon mempelai sudah siap melaksanakan rencana pernikahan tersebut diketahui orang lain. Keempat apakah kedua calon mempelai adalah benar seorang Kristen yang telah ditandai dengan telah menjalani sakramen baptisan kudus dan sidi jemaat. Patut dipahamibahwa soal surat sidi tak semua gereja mengeluarkan atau menyelenggarakannya atau diberlakukan di jemaat atau gerejanya. Untuk keempat hal tersebut di atas, maka gereja akan meminta kedua calon mempelai menyerahkan bukti-bukti/dokumen diantaranya foto kopi KTP, surat baptis dan surat sidi (kalau ada) serta surat keterangan keanggotaan jemaat berikut surat persetujuan dari jemaat asalnya agar dapatdibrkati menurut tata ibadah gereja.
Untuk acara partumpolon yang juga biasa disebut sebagai acara “ikat janji gereja” kedua belah pihak yaitu paranak dan parboru akan mengundang sanak saudara terdekat yaitu haha anggi, dongan tubu, hula-hula tulang, pariban, ale-ale, dan dongan sahuta atau tua-tua adat. Pada acara ini parboru atau paranak biasanya menyediakan makanan kecil yang dibungkus dalam kotak dan dilengkapi dengan kopi dan teh, atau minuman ringan lainnya untuk disajikan setelah acara martumpol selesai.

Martongo Raja dan Ria Raja

Martonggo Raja dan Ria Raja adalah sebuah acara rembuk keluarga yang diselenggarakan pihak parboru yaitu orang tua calon pengantin wanita (hasuhuton) untuk membicarakan persiapan dan pembagian tugas dalam rangka pesta pernikahan. Acara martonggo raja ataupun ria raja ini sifatnya hanya dihadiri rumpun sepihak terdiri dari saudara dekat, dongan sabutuha (kahanggi) ayah pengantin, boru-bere, dongan sahuta serta para sahabat. Acara ini dipandu oleh keluaraga terdekat dengan menyampaikan sedikit kata pengantar lalu dilanjutkan dengan doa makan. Setelah makan disitulah muncul pertanyaan tentang penyelesaian adat tudu-tudu ni sipanganon tersebut yaitu menyangkut pembagiannya. Belakangan ini pembagian tersebut sudah lebih kekeluargaan dimana pembagiannya sudah lebih mengedepankan asas kebersamaan dan pemerataan dimana semua yang hadir diupayakan kebagian. Lazimnya pembuka acara adalah dari pihak undangan yaitu mengucapkan terimakasih atas makanan yang enak-enak, lalu mempertanyakan tema acara. Yang akan mempertanyakan tidak boleh sembarangan tetapi dongan sabutuha yang bersaudara setingkat oppu bila seseorang sudah disepakati, biasanya dialah yang nanti akan jadi juru biacara/parsinabul pada har “H” pesta pernikahan, maka orang tersebut akan mengajukan pertanyaan pada pihak hasuhuton.
Semua yang terkait dengan persiapan itu akan dibicarakan langsung oleh hasuhuton bersama undangan. Namun belakangan ini sudah terkesan ada batasan dimana pembicara dengan undangan dongan tubu hanya pada penunjukan protokol-parsianbul. Sedangakan lainnya akan dibicarakan bersifat internal yaitu melibatkankeluarga dekat.

Sesi Kedua

Sekembalinya para undangan, kelompok hasuhuton/keluarga dekat akan melanjutkan pembicaraan lainnya. Topik yang akan dibicarakan menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1. Menetapkan keluarga yang duduk di kursi pelaminan
2. Nama keluaraga yang akan menerima jambar suhi ni ampang na opat
3. nama keluarga yang akan menayampaikan ulos untuk paranak terutama untuk suhi ni ampang na opat.
4. Penerima tamu dan beras/kado juga yang mengisi karung beras adat (tandok) sekaligus mengisi uang adat beras (ulak ni tandok)
5. Penerima ikan adat “dekke siuk” sekaligus mengisi uang adat ikan (ulak ni siuk)
6. Personel yang akan melipat ulos pemberian keluarga untuk pengantin
7. Penunjukan parboruon yang akan mengenakan sarung adat (marlopes) pendamping protokol dan parsinambul
8. Pengatur pembagian konsumsi dan lainnya
9. Hal lain yang dianggap perlu.

Hal-hal lain menyangkut penyiapan tempat , penunjukan katering, hiburan foto dan dekorasi, penyebaran undangan ditangani oleh pihak hasuhuton.

Catatan

Patut dimaklumi bahwa penggunaan sebutan untuk martonggo raja dan ria raja masih terdapat silang pendapat diantara tokoh-tokoh adat . ini terjadi karena masing-masing daerah umumnya punya tafsir/kebiasaanya sendiri. Sebagian mengatakan ria raja adalah membagi tugas dikalangan paranak sedang lainnya mengatakan acara itu adalah pembagian tugas dikalangan parboru.

Acara Marsibuha-buhai

Sesuai nama acaranya marsibuha-buhai yang berarti mengawali, maka inilah acara yang mengawali semua rentetan pesta pernikahan, baik acara gereja maupun acara adat. Acara ini juga disebut sebagai acara jemput pengantin perempuan untuk dibawa pulang ke rumah suami selesai pemberkatan gereja dan adat. Adakalanya acara ini juga dsebut sebagai acara pemberangkatan pengantin dimana orangtua pengantin perempuan akan melepas anaknya berangkat menuju suami. Untuk itu mereka biasanya akan mengadakan acara “memberi makan” suapan disaksikan oleh pamannya/tulang yaitu saudara dari ibunya. Menurut adat marsibuha-buhai itu harus dilakukan di rumah orang tua pengantin wanita.

Pemberkatan Nikah Gereja

Pemberkatan nikah gereja biasanya akan diawali dengan penandatanganan naskah akad nikah atau catatan sipil di ruang konsistori (ruang rapat majelis gereja) untuk keabsahan administratif yang dialayani oleh dinas catatan sipil pemerintah setempat. Selanjutnya pengantin akan diarak menuju pintu masuk gereja dimana pada bagian barisan depan akan dipersiapkan sejumlah anak kecil usia antara 8-11 tahun melakukan taburan bunga pemberkatan pengantin. Memasuki gedung gereja, kedua calon mempelai akan disambut segenap hadirin yang sudah duduk di bangku gereja diiringi musik berirama lembut yang sudah biasa digunakan untuk menyambut pengantin. Di belakang kedua calon mempelai , keluarga dekat akan turut mengiringi atau mengantar kedua calon pengantin menuju kursi pelaminan yang biasa disebut sebagai tempat duduk raja sehari. Inti acara ini adalah “pemberkatan pernikahan” dimana pemimpin ibadah akan menasehati kedua mempelai agar hidup berkeluarga sesuai ajaran Yesus Kristus. Selesai pemberkatan, seorang diantara anggota keluarga wajib menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap undangan dan mengajak mereka agar bersama-sama menuju tempat pesta pernikahan adat/gedung resepsi.

Catatan

Sebaiknya acara foto keluarga dengan pendeta dilakukan secepatnya agar jadwal acara adat tidak sampai terlambat.


Pesta Adat (Marunjuk)

Pesta adat “Marunjuk” adalah puncak acara dari sebuah rangkaian acara adat yang telah dilaksanakan mulai dari acara hori-hori dinding hingga acara tonggo raja dan atau ria raja. Acara ini baru akan dilaksanakan setelah kedua mempelai menerima “pemberkatan nikah” oleh pendeta di gereja. Selesai pemberkatan di gereja, kedua mempelai akan dibawa menuju tempat pesta adat yang diadakan di halaman rumah atau gedung balai pertemuan. Tiba di tempat acara mempelai akan diantar ke kursi pelaminan dengan irama musik lembut penyambut pengantin. Setelah pengantin duduk di pelaminan, dilanjutkan dengan acar penyambutan pihak hula-hula.

Acara Adat Alap Jual

Bila acara adat sifatnya alap jual, hasuhuton kedua belah pihak akan masuk secara bersam kedalam gedung dengan mengambil posisi duduk di tempat masing-masing yaitu pihak paranak disebelah kiri sedangkan pihak parboru di sebelah kanan. Mereka akan menata sendiri posisi duduk kerabatnya sambil menunggu protokol memberi komando untuk acar penyambutan para hula-hula. Tempat duduk mereka juga harus diatur berurutan dari pihak parboru. Adapun rombongan hula-hula yang diterima terdiri dari hula-hula pangalapan (rombongan tulang pengantin wanita), tulang dari ibu pengantin atau rorobot, bona tulang yaitu tulang dari ayah pengantin wanita, hula-hula dari kakak-adik ayah si pengantin serta hula-hula lainnya.

Acara Adat Taruhon Jual

Apabila acara adat sifatnya taruhon, selesai acara kedua pihak hasuhuton mengantar pengantin ke tempat pelaminan, rombongan suhut parboru akan keluar untuk menjemput rombongan yang masih berada di luar. Mereka akan masuk bila pihak protokol paranak sudah menyatakan siap menerima kedatangan parboru. Dalam hal ini parboru hanya terbatas pada rombongan satu marga diluar hula-hulanya. Apabila rombongan parboru sudah duduk ditempat, maka paranak akan minta ijin pada parboru dalam rangka menyambut hula-hula paranak. Untuk itu protokol paranak akan memanggilkan marga dari hula-hulanya minta gondang/musik mengiringi penyambutan hula-hula. Rombongan ini terdiri dari berbagai lapisan hula-hula mulai dari rombongan paman pengantin pria hingga hula-hula lainnya yang terdiri dari hula-hula pangalapan (rombongan tulang pengantin wanita), tulang dari ibu pengantin atau rorobot, bona tulang yaitu tulang dari ayah pengantin wanita, hula-hula dari kakak-adik ayah si pengantin serta hula-hula lainnya.

Membagi Jambar Daging

Ketika acara penyerahan tudu-tudu ni sipanganon, terkesan bahwa pihak paranak sudah menyerahkan semua daging “tudu-tudu ni sipanganon” kepada pihak parboru. Namun hakekatnya tidaklah demikian dimana secara moral adat, pihak parboru juga tidak tega menguasi sendiri daging tersebut. Untuk itu protokol parboru akan mempertanyakan atau mengkonfirmasi aturan pembagian daging tersebut pada pihak paranak. Sebenarnya konfirmasi tentang pembagian daging tersebut hanyalah sekedar penghormatan karena aturan pembagian daging (jambar) sudah disepakati atau diatur ketika acara melamar atau patua hata. Setelah dikonfirmasi panitia melakukan pembagian daging, yang terbanyak adalah bagian parboru dan sisanya adalah untuk paranak. Biasanya selesai membagi jambar daging, tibalah saatnya paranak mohon ijin kepada protokol pihajk parboru untuk mengumpulkan atau menerima tumpak/sumbangan dari pihak undangan paranak baik sumbangan perorangan maupun sumbangan kelompok (diiringi musik).

Dialog Adat

Pada acara perniklahan menurut adat batak, ada satu hal yang cukup menarik dan terkesan unik namun diistimewakan sebagai puncak acara dan merupakan inti dari rangkaian acara pernikahan. Sebelum tiba pada hari “H” pesta pernikahan, kedua belah pihak yaitu paranak dan parboru sudah melaksanakan atau melewati sejumlah tahapan dari melamar hingga acara pemberkatan oleh gereja. Pihak paranak juga sudah menyerahkan sebagian besar dari mas kawin atau mahar putrinya bahkan sudah mendapat pemberkatan oleh Pendeta. Namun ketika memulai dialog adat, hal ini akan diaktualisasikan lagi dimana setelah serah “demban/sirih” atau pinggan panungkunan, pihak parboru masih akan menanyakan kembali latar belakang acara pesta pernikahan tersebut. Kita beranggapan acara tersebut sebagai acara panggung sandiwara karena parboru masi menanyakan apa yang sudah dia tahu. Acara ini tentunya bukan tak beralasan untuk ditiadakannya, karena dahulu jumlah lapisan keluarga yang ikut dalam acara patuahata hanyalah terbatas dimana dongan sabutuha dan saudara lainnya belum semua diikutkan. Demi keutuhan dan keasrian adat batak, bagaimanapun hal itu harus ditanyakan kembali agar semua undangan mendengar rangkaian acara adat serta negosiasi adat yang telah disepakati kedua belah pihak. Negosiasi adat itu sendiri belum disebut sebagai putusan akhir tetapi tetap masih sebagai rancangan (husip-husip nagogo). Semua itu baru akan disebut hasil putusan setelah parsianbul/parsinabul mencapai kata sepakat pada puncak acara pesta di gedung. Dalam hal ini yang pertama ditanyakan parboru adalah latar belakang adanya pesta, kemampuan pihak paranak membayar sinamot. Pada kesempatan itu parsianbul parboru juga akan menanyakan banyak ulos yang diharapkan pihak paranak, untuk disediakan parboru sesuai nilai mahar yang disanggupi pihak paranak. Setelah semuanya disepakati maka kedua belah pihak paranak diperintah parsianbul untuk melunasi hak adat pihak parboru yang intinya menyerahkan mahar pada anggota keluarga pihak parboru yang menerima serta diiringi musik. Penyerahan pertama adalah kepada ayah-ibu pengantin perempuan langsung oleh orang tua paranak. Selesai penyerahan mahar kepada orang tua pengantin wanita, parsinabul parboru akan minta pihak paranak menyerahkan untuk suhi ni ampang naopat dan juga kepada anggota keluarga lain yang berhak sesuai kesepakatan adat ketika acara patua hata.

Penerima Jambar

Yang akan menerima jambar tersebut dalam urutan adalah sebagai berikut:
1. Suhut (orang tua pengantin)
2. Sijalo Bara (abang atau adik dari ayah pengantin wanita)
3. Simolohaon (saudara lelaki pengantin wanita yang sudah berkeluarga)
4. Pariban (adik-kakak pengantin wanita yang sudah berkeluarga)
5. Upa togu-togu ni horbo (jambar untuk saudara lelaki pengantin wanita yang belum berkeluarga)
6. Upa Tulang (paman pengantin, abang/adik dari ibu pengantin wanita)
7. Parorot (Saudara perempuan dari ayah pengantin)
8. Tutup Ban (kakek nenek pengantin wanita)
9. Todoan 1 (saudara sudah agak jauh lebih atas dari ayah pengantin)
10. Pengurus perkumpulan/punguan dan lain-lain yang dianggap pantas menerima.
Jika semua sudah diserahkan, pemberian terakhir adalah penyerahan jambar penggenapan yang biasa disebut sebagai pinggan panganan. Jumlah amplopny cukup banyak namun nominal isinya relatif kecil.

Pemberian Ulos

Sebagai kompensaisi dari pemberian jambar, pihak parboru akan memberi ulos kepada pihak paranak. Pemberian pertama akan diawali dengan pemberian ulos pansamot kepada orangtua pengantin pria oleh orangtua pengantin wanita. Selengkapnya dari urutan penerima ulos tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ulos Pansamot (orang tua pangantin pria)
2. Ulos Pengantin
3. Ulos Paramaan (abang atau adik dari ayah pengantin)
4. ulos simandokkon untuk abang atau adik atau bisa juga saudara dekat dari pengantin pria yang sudah berkeluarga
5. Ulos Sihunti Ampang (adik perempuan pengantin pria yang sudah berkeluarga)
6. Ulos untuk panghaei (saudara diatas dari ayah pengantin)
7. Ulos untuk bola tambirik (saudar ayah pengantin yang sudah agak jauh sedikit)
8. Ulos untuk namboru (bibi/tante pengantin pria)
9. Pengurus perkumpulan/punguan.
Ulos untuk kelompok todoan (kerabat serumpun) biasanya tergantung dari banyaknya jumlah ulos pemberian pihak parboru yang disepakati ketika acara patua hata. Jika semua sudah diserahkan termasuk ulos untuk pengurus punguan (organisai marga), pemberian terakhir adalah menyerahkan penggenapan ulos yang biasas disebut ulos tinonun sadari. Ulos tinonun sadari bukan berupa helai kain melainkan berupa uang. Jumlah amplopnya cukup banyak namun isinya relatif sedikit. Selesai penyerahan ulos kepada kelompok tersebut diatas, tiba saatnya parsianbul parboru memberi kesempatan kepada kerabat dan dongan sabutuha, boru-bere, dongan sahuta, ale-ale untuk penyerahan ulos tanda cinta kasih (ulos holong) kepada kedua pengantin. Kedua pengantin disuruh duduk didepan podium untuk menerima ulos holong dari keluarga, diawali dengan saudara semarga dari ayah penganti wanita. Dulu yang memberikan ulos tersebut jumlahnya cukup banyak , belakangan ini dibatasi diamana ulos diganti uang.

Ulos Dari hula-hula Parboru

Apabila penyerahan ulos oleh rombonmgan parboru sudah selesai maka berikutnya protokol akan memberi kesempatan kepada rombongan hula-hula parboru untuk menyerahkan ulos holongnya. Penyerahan ulos dari pihak hula-hula ini akan diawali oleh hula-hula anak manjae yaitu hula-hula abang adik laki-laki pengantin perempuan, hula-hula namartinodohon atau hula-hula saudara kandung sepupu ayah pengantin, hula-hula bonatulang dan hula-hula tulang. Terakhir adalah pemberian ulos oleh rombongan tulang atau paman pengantin wanita yang biasa disebut sebagai hula-hula pargomgom.

Ulos Dari hula-hula Paranak

Selesai penyerahan ulos dari pihak hula-hula parboru, selanjutnya adalah penyerahan ulos holong dari hula paranak. Sama seperti hula-hula parboru, yamg pertama memberikan adalah hula-hula anak manjae yaitu hula-hula abang-adik laki-laki pengantin pria. Kemudian dilanjutkan oleh hula-hula namartinodohon atau hula-hula saudara sepupu ayah pengantin pria. Kemudian dilanjutkan oleh hula-hula namartinodohon atau hula-hula saudara sepupu ayah pengantin pria. Kemudian dilanjutkan oleh hula-hula namartinodohon atau hula-hula saudara sepupun ayah pengantin pria, hula-hula bonatulang dan hula-hula tualang. Terakhir adalah pemberian ulos oleh rombongan tulang atau pengantin pria, yang biasa disebut sebagai hula-hula pargomgom penerima titi marangkup. Setelah pemberian ulos, parsianbul memberi kesempatan kepada pihak parboru untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada keluarga, undangan dan juga kepada pihak paranak diamana hasuhuton parboru yang ada di podium diminta berdiri. Kemudian dilanjutkan pihak paranak menyampaikan ucapan terimakasih kepada keluarga, undangan dan juga kepada pihak paranak diamana hasuhuton paranak yang ada di podium diminta berdiri dan ditutup penyampaian ucapan terimakasih diawali oleh pengantin wanita lalu pengantin pria. Parsianbul akan memeimpin acara “olop-olop” yaitu acara pernyataan suka cita atas terlaksananya acara dengan baik dan aman. Acara ini ditandai dengan saling menyerahkan sejumlah uang olop-olop dalam piring ( yang telah diisi beras) diamana uang tersebut biasanya bernilai sekitar sepuluh ribu rupiah. Dengan jumlah tujuh puluh helai disertai satu helai yang nilainya besar yang nantinya diberikan kepada parsianbul. Kedua parsianbul paranak dan parboru saling menyerahkan piring berisi uang tadi. Satu helai uang yang bernilai besar tadi akan dimasukkan langsung kedalam kantong parsianbul parboru sedangkan parsianbul paranak juga melakukan hal serupa. Parsianbul paranak kembali ketempat semula, lalu parsianbul parboru akan memimpin acara penutupan itu dengan kata-kata seperti berikut:

“Nunga jumpang tali aksa ihot ni ogung oloan, nunga denggan mardalan ulaonta ala olo do hita masi paolo-oloan”. Tadok ma olop-olop tolu hali (Olop-olop, Olop-olop, Olop-olop).

Paulak Une

Selesai acara olop-olop, di tempat itu juga diadakan acara paulak une yaitu pemberangkatan kedua mempelai menuju rumah/kampung pengantin pria. Mereka akan diantar rombongan parboruterdiri dari saudara perempuan pengantin wanita (kakak adik-namboru si pengantin wanita), dikawal dua tiga orang pria meskipun jarak perjalanan hanya 2 meter. Pada acara pemberangkatan tersebut pihak parboru akan membekali anaknya dengan dekke adat, kue pohul-pohul dan beras sebagai simbol adat. Dahulu disamping makanan tersebut, parboru juga akan memberangkatkan anaknya dengan perabot rumah tangga termasuk tempat tidur untuk dipakai anaknya yang kini acara seperti itu sudah jarang ditemukan. Kepada rombongan pengantar pihak paranak akan memberi sejumlah uang yang biasa disebut sebagai “upa manaruhon” sedang untuk laki-laki disebut sebagai pasituak natonggi.

Tingkir Tangga (Jenguk Rumah Anak)
Sebagai kompensasi atas pengantaran tersebut, paranak juga akan mengantarkan “tudu-tudu ni sipanganon” berupa seekor anak ternak babi. Menurut tradisi lama, acara ini baru akan dilaksanakan satu minggu setelah acara pelaksanaan

Sunday, March 28, 2010

"AMAZING JOURNEY"



Wooouuuu.... sebuah perjalanan yang sangat menakjubkan ketika kita melintas di atas sebuah pegunungan hal ini tentunya kita rasakan disaat-saat kita berada disebuah objek atau lokasi dimana kita bisa melihat sesuatu keindahan alam terbuka yang sangat menakjubkan dan memanjakan mata kita, akan lebih indah lagi ketika moment bahagia ini kita rasakan bersama orang terdekat yang kita kasihi, hoho... hal ini akan menjadi impian semua orang tentunya.



Demikian juga hidup ibarat penumpang yang dimaksud dalam bus tersebut, kita berada dalam sebuah perjalanan dengan sebuah tujuan, kita bebas memilih sesuai dengan keinginan kita; duduk dimana saja disamping orang yang kita kasihi dan sobat's kita dengan lajur dan baris yang kita inginkan atau bahkan berdiri. pada bagian depan ada sopir dibantu oleh navigator dan di setiap pintu bus ada kernet yang menurunkan dan memasukkan penumpang. Kita tidak menyadari di setiap sisi dalam bus ada terpasang spy mirrors yang merekam setiap tingkah laku dan tindak tanduk kita dalam bus.



Pertanyaan yang tidak terjawab; berapa kecepatan bus??? karena setiap orang penumpang berada dalam bus ada yang hanya 1 detik, 1 menit, 1 jam, 1 hari, 1 bulan, 1 tahun, 20 tahun, 60 tahun, 90 tahun dan 120 tahun (kej 6:3). Penumpang itu sendiri tidak tahu kapan sang kernet menuntunnya keluar dari bus itu. Ketika sang kernet datang menghampiri kita, orang yang kita kasihi dan sobat's, kita tidak bisa menghindar dan berucap; "tunggu dulu, saya masih mau menikmati perjalanan ini!" Waktu yang kita habiskan berada di dalam bus tersebut merupakan usia kita, ketika kita keluar sang kernet memberikan rekaman spy mirrors yang nantinya menjadi ticket kita untuk masuk tempat tujuan akhir kita.


syalom...

VENI, VIDI & VICI