Powered By Blogger

Tuesday, October 25, 2011

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER


PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1997
TENTANG
PERADILAN MILITER

UMUM
Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan.
Upaya pembangunan hukum nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mendukung upaya pembangunan hukum nasional tersebut, hukum militer sebagai subsistem dari hukum nasional perlu dibina dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, termasuk pengkhususannya (diferensiasi/spesialisasi) yang susunan dan kekuasaan serta acaranya diatur dalam undang-undang tersendiri.
Keberadaan peradilan militer tersebut diperkuat lagi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.
Undang-undang yang menjadi dasar hukum peradilan militer yang selama ini berlaku adalah:
a           Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan, sebagai Undang-undang Federal sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965, tentang Penetapan Presiden tentang Perubahan beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Militer yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh pengadilan ketentaraan, yaitu Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan Pengadilan Tentara Agung, sedangkan kekuasaan kejaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan Tentara Agung.
Dalam Undang-undang tersebut Mahkamah Tentara Agung juga diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh:
1)         Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, jika jabatan ini dipangku oleh anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat;
2)         Panglima Besar;
3)         Kepala Staf Angkatan Perang;
4)         Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
b          Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut; sedangkan yang mengatur pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat kedua berpedoman pada titel 15 Strafvordering. Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam praktek peradilan, Mahkamah Militer menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman.
c           Undang-undang Nomor 3 Pnps Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara Bagi Anggota-Anggota Angkatan Kepolisian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan Pasal 2 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 yang menyatakan Angkatan Kepolisian menyelenggarakan sendiri peradilan militer dalam lingkungannya.
Peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas ternyata tidak dapat dipertahankan lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan hukum militer sebagai subsistem dari hukum nasional. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan tersebut perlu dicabut dan diatur kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982.
d          Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan Bersama Angkatan Bersenjata dalam rangka peningkatan pelaksanaan Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang, pada lampiran III B, menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 diserahkan kewenangannya untuk meninjau lebih lanjut dan mengaturnya kembali kepada Pemerintah dalam peraturan perundang-undangan atau dijadikan bahan bagi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masing-masing.
Dengan berakhirnya DWIKORA dan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969, Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 perlu dicabut karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan.
Dalam rangka memenuhi kepentingan Angkatan Bersenjata untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta penegakan hukum dan keadilan di daerah pertempuran, perlu adanya pengadilan militer pertempuran yang bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, yang berwenang memeriksa dan mengadili tingkat pertama dan terakhir semua tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit yang terjadi di daerah pertempuran.
Peradilan militer yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha Angkatan Bersenjata dan dalam soal-soal kepegawaian militer sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 tentang Kedudukan Hukum Anggota Angkatan Perang dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1958 tentang Undang-undang Militer Sukarela ternyata belum terlaksana sampai kedua Undang-undang tersebut dicabut dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan peradilan ketentaraan adalah juga termasuk kewenangan mengadili perkara Tata Usaha di lingkungan Angkatan Bersenjata dan soal-soal tentara.
Sementara itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf f, menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata termasuk kewenangan peradilan militer dan oleh karena itu perlu diatur dalam Undang-undang ini.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh:
a           Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari:
1)         Pengadilan Militer yang merupakan pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah;
2)         Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk:
a)         perkara pidana yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya berpangkat Mayor ke atas; dan
b)         gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3)         Pengadilan Militer Utama yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b          Pengadilan Militer Pertempuran yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran, yang merupakan pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dari pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pengadilan itu merupakan organisasi kerangka yang baru berfungsi apabila diperlukan dan disertai pengisian pejabatnya.
Badan-badan peradilan tersebut pada huruf a dan huruf b, semua berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ditetapkan seperti tersebut di atas karena yustisiabelnya adalah prajurit yang diberi pangkat sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam hirarki keprajuritan untuk menegakkan disiplin dan kehormatan prajurit.
Wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama berada pada Pengadilan Militer Tinggi, karena pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata sebagai tergugat umumnya golongan perwira menengah ke atas.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata secara organisatoris dan administratif berada di bawah pembinaan Panglima. Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, dalam Undang-undang ini tidak dikenal lagi Mahkamah Tentara Agung yang secara ex officio ketuanya dijabat oleh Ketua Mahkamah Agung.
Namun fungsi pengawasan dan pembinaan teknis yustisial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tetap di bawah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Sementara itu Pengadilan Militer Utama diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan sehari-hari terhadap pengadilan di bawahnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya, serta Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Agar pengadilan dalam lingkungan peradilan militer bebas memberikan putusannya, perlu ada jaminan bahwa baik pengadilan maupun hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh lainnya.
Oleh karena itu, Hakim di lingkungan peradilan militer diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Dalam hal Pengadilan memeriksa dan mengadili perkara yang memerlukan keahlian khusus, Kepala Pengadilan yang bersangkutan dapat menunjuk seorang perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai Hakim Ad Hoc untuk bertugas selaku Hakim Anggota Majelis yang akan mengadili perkara dimaksud.
Bagi Hakim Ad Hoc tidak berlaku persyaratan-persyaratan tertentu seperti yang berlaku bagi Hakim Militer atau Hakim Militer Tinggi.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan hakim serta pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, perlu juga dijaga kualitas kemampuan para hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi hakim yang diatur dalam Undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para hakim merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan pengadilan, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya, dan jabatan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan prasangka keras, bahwa seorang hakim telah melakukan perbuatan tercela dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam tugas, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan membela diri.
Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban tugas yang harus dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi pengadilan.
Hal ini sangat penting karena menyangkut aspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi di bidang perkara yang akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri. Oleh karena itu penyelenggaraan administrasi perkara dan administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial) dalam Undang-undang ini dibebankan kepada Panitera.
Kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata, dilaksanakan oleh Oditurat dalam lingkungan peradilan militer yang terdiri dari:
a.         Oditurat Militer, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer;
b.         Oditurat Militer Tinggi, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Tinggi;
c.         Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata, yang merupakan badan penuntutan tertinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata; dan
d.         Oditurat Militer Pertempuran, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Pertempuran.
Oditurat di lingkungan peradilan militer adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.
Oditurat di lingkungan peradilan militer secara teknis yustisial, pembinaannya berada di bawah Oditur Jenderal, sedangkan organisatoris dan administratif berada di bawah Panglima.
Di samping mengatur susunan, kekuasaan, tugas, dan wewenang Oditurat di lingkungan peradilan militer, Undang-undang ini menetapkan pula:
a.         kewenangan Oditur di lingkungan peradilan militer untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tertentu atas perintah Oditur Jenderal;
b.         kewenangan Oditur di lingkungan peradilan militer untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara diserahkan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; dan
c.         kewenangan Oditur Jenderal untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam bidang penyidikan, penyerahan perkara, penuntutan dan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Untuk meneguhkan kehormatan, kewibawaan, dan keahlian teknis Oditur dalam lingkungan peradilan militer, perlu dijaga kualitas kemampuannya dengan ditetapkannya syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentiannya dalam Undang-undang ini, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Panglima.
Oditur Militer, Oditur Militer Tinggi, dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan.
Dalam Undang-undang ini diatur pula, tentang hukum acara pada peradilan militer yang berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer sebagai berikut:
a.         asas kesatuan komando.
Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi.
Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan.
Namun dalam Hukum Acara Pidana Militer dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
b.         asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya.
Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.
Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando.
c.         asas kepentingan militer.
Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
Hukum acara pada peradilan militer yang diatur dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai konsepsi hukum acara pidana nasional yang antara lain tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan konsepsi Hukum Acara Tata Usaha Negara yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan berbagai kekhususan acara yang bersumber dari asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata.
Berdasarkan pendekatan kesisteman ini, sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata, berbagai konsepsi dan rumusan hukum acara pidana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Hukum Acara Tata Usaha Negara yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diakomodasikan ke dalam hukum acara pidana militer dan hukum acara tata usaha militer, yang muatannya mencakup:
a.         Hukum Acara Pidana Militer.
1)         Tahap penyidikan.
Atasan yang Berhak Menghukum, Polisi Militer dan Oditur adalah Penyidik.
Namun kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan yang Berhak Menghukum tidak dilaksanakan sendiri, tetapi dilaksanakan oleh penyidik Polisi Militer dan/atau Oditur.
Dalam Undang-undang ini tidak secara khusus diatur tentang penyelidikan sebagai salah satu tahap penyidikan, karena penyelidikan merupakan fungsi yang melekat pada komandan yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik Polisi Militer.
Atasan yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara mempunyai kewenangan penahanan, yang pelaksanaan penahanannya hanya dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah tahanan militer.
2)         Tahap penyerahan perkara.
Wewenang penyerahan perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum ada pada Perwira Penyerah Perkara.
Dalam Hukum Acara Pidana Militer, tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara, dan pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh Oditur yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada Oditur Jenderal, sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada Perwira Penyerah Perkara.
3)         Tahap pemeriksaan dalam persidangan.
Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal adanya acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, acara pemeriksaan khusus, dan acara pemeriksaan koneksitas.
Acara pemeriksaan cepat adalah acara untuk memeriksa perkara lalu lintas dan angkutan jalan.
Acara pemeriksaan khusus adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi.
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu.
Pada asasnya sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. Pada prinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali dalam acara pemeriksaan cepat.
Terhadap tindak pidana militer tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenal peradilan in absensia yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.
4)         Tahap pelaksanaan putusan.
Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi.
Khusus dalam pelaksanaan putusan tentang ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dilaksanakan oleh Kepala Kepaniteraan sebagai juru sita.
b.         Hukum Acara Tata Usaha Militer.
Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata bagi Prajurit lebih dahulu harus diselesaikan melalui upaya administrasi.
Apabila tidak ditemukan penyelesaiannya, baru kemudian dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama.
Dalam pemeriksaan perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dikenal adanya acara pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat digunakan apabila kepentingan penggugat yang sangat mendesak untuk segera diperiksa dan diadili.
1)         Tahap gugatan
2)         Tahap gugatan.
Gugatan dibuat oleh seseorang termasuk Prajurit, badan hukum perdata atau kuasanya, diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi.
Gugatan tersebut berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
3)         Tahap pemeriksaan dalam persidangan.
Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam persidangan antara lain:
a)         hakim berperan lebih aktif guna mencari kebenaran dan keadilan;
b)         gugatan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata;
c)         atas putusan Pengadilan Militer Tinggi mengenai sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata masih dapat diadakan upaya hukum banding kepada Pengadilan Militer Utama, kasasi dan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
4)         Tahap pelaksanaan putusan.
Panitera atas perintah Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengirimkan putusan kepada para pihak yang bersengketa, supaya isi amar putusan tersebut dilaksanakan oleh tergugat/penggugat.
Kekhususan lain dari Hukum Acara pada Peradilan Militer adalah tentang bantuan hukum, yaitu bahwa setiap pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa harus atas perintah atau seizin Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.
Penasihat hukum yang mendampingi Terdakwa sipil dalam perkara koneksitas yang disidangkan di lingkungan peradilan militer harus seizin Kepala Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Materi Undang-undang ini mencakup Susunan dan Kekuasaan Pengadilan dan Oditurat dalam lingkungan Peradilan Militer, Hukum Acara Pidana Militer, dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dengan pertimbangan sebagai berikut:
a.         Pengadilan dan Oditurat di lingkungan peradilan militer yang merupakan sarana pembinaan prajurit secara organisatoris, administratif, dan finansial pembinaannya berada di bawah Panglima, serta tidak terlepas keberadaannya dari upaya penyelenggaraan pertahanan keamanan negara;
b.         Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama selain mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana juga mempunyai kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata sesuai dengan hukum acaranya masing-masing;
c.         penyusunan beberapa materi dalam satu Undang-undang ini bukan merupakan kodifikasi melainkan hanya pengelompokan, sehingga tiap materi undang-undang tidak kehilangan asasnya masing-masing, serta tidak menyalahi sistem hukum nasional;
d.         dalam Undang-undang ini, istilah Angkatan Bersenjata, Militer, dan Tentara diartikan sama, kecuali apabila diberi pengertian khusus.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Karena fungsi pembinaan teknis pengadilan dan pengawasan tertinggi ada pada Mahkamah Agung, Mahkamah Agung berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pengadilan yang sehari-hari dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Utama.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Angka 1
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah orang sipil yang menurut kenyataan bekerja pada Angkatan Bersenjata yang diberi kewajiban untuk memegang rahasia militer, melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan kewajibannya, dengan ketentuan bahwa orang tersebut tidak termasuk pada ketentuan huruf a, huruf b, dan huruf c.
Angka 2
Wewenang sebagaimana dimaksud pada angka 2 ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai Pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama sebagai Pengadilan tingkat banding.
Angka 3
Cukup jelas

Pasal 10
Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a lebih kuat daripada syarat sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya, misalnya sidang di lapangan untuk memeriksa barang bukti yang terletak di luar daerah hukumnya.

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Di persidangan Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama yang Terdakwanya berpangkat Kolonel, Hakim Anggota, dan Oditur berpangkat paling rendah Kolonel, sedangkan apabila Terdakwanya perwira tinggi misalnya Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/ Marsekal Pertama, Hakim Ketua, Hakim Anggota, dan Oditur paling rendah berpangkat Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/Marsekal Pertama.
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Dalam persidangan dibantu oleh seorang Panitera yang melaksanakan tugas kepaniteraan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Seorang Prajurit yang akan diangkat menjadi Hakim Militer diutamakan selain harus memenuhi syarat berpangkat paling rendah Kapten dan berijazah Sarjana Hukum juga yang sudah lulus pendidikan Hakim.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "alih jabatan" adalah perpindahan dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lain, yang tidak dapat dirangkap dengan jabatan Hakim, misalnya dari jabatan Hakim kepada jabatan Oditur.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus" adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masa pensiun" adalah masa pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 tentang Administrasi Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" adalah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila Hakim yang bersangkutan mempunyai sikap dan melakukan perbuatan atau tindakan baik di dalam maupun di luar kedinasan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan "tugas jabatan" adalah semua tugas fungsional Hakim.
Apabila alasan yang dicantumkan pada ayat ini juga merupakan alasan bagi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, pemberhentian tidak dengan hormat seorang Hakim dari jabatannya dapat diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Majelis Kehormatan Hakim" adalah suatu badan nonstruktural yang dibentuk oleh Panglima untuk setiap kasus yang diajukan, yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Panglima tentang layak tidaknya seorang Hakim untuk diusulkan diberhentikan tidak dengan hormat kepada Presiden. Kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim adalah sepanjang yang menyangkut pelaksanaan tugas dalam jabatan fungsionalnya.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "alih jabatan" adalah perpindahan dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lain yang tidak dapat dirangkap dengan jabatan Panitera, misalnya dari jabatan Panitera kepada jabatan Oditur.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf c.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masa pensiun", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf d.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 36
Yang dimaksud dengan "dipidana" adalah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila Panitera yang bersangkutan mempunyai sikap dan melakukan perbuatan atau tindakan baik di dalam maupun di luar kedinasan merendahkan martabat Panitera.
Yang dimaksud dengan "tugas jabatan" adalah semua tugas fungsional Panitera yang dibebankan kepadanya.
Apabila alasan yang tercantum pada ayat ini juga merupakan alasan bagi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, pemberhentian tidak dengan hormat seorang Panitera dari jabatannya dapat diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Menyelenggarakan administrasi perkara berarti mengatur dan membina kerja sama, mengintegrasikan dan menyinkronkan kegiatan dan tugas Panitera dan/atau Panitera Pengganti dalam menyelenggarakan seluruh administrasi perkara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "biaya perkara" adalah mengenai biaya perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

Pasal 39
Larangan membawa ke luar meliputi segala bentuk apapun juga memindahkan isi daftar, catatan risalah, berita acara, serta berkas ke luar ruang kerja kepaniteraan.

Pasal 40
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penentuan tingkat pangkat Kapten ke bawah didasarkan atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sebagai contoh, orang sipil yang Pegawai Negeri Sipil dengan golongan III/c setingkat kepangkatannya dengan Kapten.
Huruf c
Yang dimaksud dalam ketentuan ini, lihat Penjelasan Pasal 9 angka 1 huruf d

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sengketa tentang wewenang mengadili antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer, misalnya tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa Prajurit yang pangkatnya berlainan, yaitu ada Kapten ke bawah bersama-sama Mayor ke atas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Hakim" adalah Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama kecuali yang merangkap jabatan sebagai Kepala Pengadilan Militer Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan" adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijaksanaan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri-ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Oditurat.

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembentukan unit pelaksana teknis Oditurat Militer, terutama didasarkan kepada pertimbangan luas daerah hukum Oditurat Militer dan/atau banyaknya perkara, guna kecepatan penyelesaian perkara dan pendekatan pelayanan hukum bagi satuan Angkatan Bersenjata.

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Seorang Prajurit yang akan diangkat menjadi Oditur diutamakan selain harus memenuhi syarat berpangkat paling rendah Kapten dan berijazah Sarjana Hukum juga yang sudah lulus pendidikan Oditur.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Ayat (1)
Jabatan Oditur dan Oditur Jenderal sebagai jabatan fungsional, terkait dengan fungsi yang secara khusus dijalankan oleh Oditur dan Oditur Jenderal dalam bidang penuntutan sehingga memungkinkan organisasi Oditurat menjalankan tugas pokoknya.
Oditur dan Oditur Jenderal dalam melaksanakan jabatan fungsional di bidang penuntutan bertindak sebagai wakil dari kesatuan, masyarakat, pemerintah, dan negara. Oleh karena itu, pelaksanaan penuntutan harus memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat pada umumnya di lingkungan Angkatan Bersenjata pada khususnya.
Di samping itu, arah penuntutan harus pula diselaraskan dengan kebijaksanaan pemerintah, negara, dan kepentingan pertahanan keamanan negara dalam penanganan perkara pidana.
Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab menurut saluran hirarki" adalah Oditur dalam melaksanakan tugas fungsional yang diembannya harus bertanggung jawab kepada pejabat Oditurat yang secara organisatoris membawahkan Oditur tersebut.
Sebagai contoh, Kepala Unit Pelaksana Teknis Oditurat bertanggung jawab kepada Kepala Oditurat Militer. Demikian pula Kepala Oditurat  Militer  bertanggung jawab kepada Kepala Oditurat Militer
Tinggi dan Kepala Oditurat Militer Tinggi bertanggung jawab kepada Oditur Jenderal.
Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "alih jabatan" adalah perpindahan dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lain, yang tidak dapat dirangkap dengan jabatan Oditur dan Oditur Jenderal, misalnya dari jabatan Oditur kepada jabatan Hakim.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf c.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masa pensiun", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf d.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" adalah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila Oditur atau Oditur Jenderal yang bersangkutan mempunyai sikap dan melakukan perbuatan atau tindakan baik di dalam maupun di luar kedinasan merendahkan martabat Oditur atau Oditur Jenderal.
Yang dimaksud dengan "tugas jabatan" adalah semua tugas fungsional Oditur atau Oditur Jenderal yang dibebankan kepadanya.
Apabila alasan yang dicantumkan pada ayat ini juga merupakan alasan bagi pemberhentian tidak dengan  hormat sebagai Prajurit, pemberhentian tidak dengan hormat seorang Oditur atau Oditur Jenderal dari jabatannya dapat diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Majelis Kehormatan Oditur adalah suatu badan nonstruktural yang dibentuk oleh Panglima untuk setiap kasus yang diajukan, yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Panglima tentang layak tidaknya seorang Oditur diberhentikan tidak dengan hormat.
Kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Oditur adalah sepanjang menyangkut pelaksanaan tugas dalam jabatan fungsionalnya.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Penentuan tingkat kepangkatan Kapten ke bawah, lihat Penjelasan Pasal 40 huruf b.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pemeriksaan tambahan dilakukan terhadap Tersangka atau Saksi guna melengkapi berkas perkara untuk memenuhi persyaratan penuntutan baik formal maupun materiil.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyidikan" adalah penyidikan yang sejak awal dilakukan sendiri oleh Oditur atas perintah Oditur Jenderal, baik untuk tindak pidana umum maupun untuk tindak pidana tertentu.

Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Penuntutan terhadap Terdakwa yang tingkat kepangkatannya Mayor ke atas didasarkan atas Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman yang harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi. Sebagai contoh orang sipil yang Pegawai Negeri Sipil dengan golongan IV/a setingkat kepangkatannya dengan Mayor.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pemeriksaan tambahan", lihat Penjelasan Pasal 64 ayat (1) huruf c.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyidikan", lihat Penjelasan Pasal 64 ayat (2).

Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Untuk menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan antara lain dengan cara menyelenggarakan data administrasi proses penyelesaian perkara pidana di lingkungan Angkatan Bersenjata secara terpusat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus", antara lain adalah tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi.

Pasal 67
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tugas khusus" antara lain adalah tugas lain selain dari tugas fungsional Oditurat.

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Sesuai dengan asas Kesatuan Komando, Komandan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya, kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan yang berada di bawah wewenang komandonya merupakan wewenang yang melekat pada Atasan yang Berhak Menghukum, supaya dapat menentukan nasib bawahan yang dimaksud dalam penyelesaian perkara pidana yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada Penyidik Polisi Militer dan/atau Oditur.
Huruf b
Penyidik Polisi Militer adalah salah seorang pejabat yang mendapat pelimpahan wewenang dari Panglima selaku Atasan yang Berhak Menghukum tertinggi untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit.
Huruf c
Penyidik Oditur adalah salah seorang pejabat yang mendapat pelimpahan wewenang dari Panglima selaku Atasan yang Berhak Menghukum tertinggi untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit.
Ayat (2)
Provos adalah bagian organik satuan yang tugasnya membantu Komandan/Pimpinan pada markas/kapal/kesatrian/ pangkalan dalam menyelenggarakan penegakan hukum, disiplin, tata tertib, dan pengamanan lingkungan kesatuannya.

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Dalam perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, cukup memeriksa Saksi yang ada dan pemberkasan perkaranya tidak terhalang dengan tidak adanya pemeriksaan Tersangka.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan "tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" adalah tindakan dari Penyidik untuk kepentingan penyidikan dengan syarat:
1          tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2          selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
3          tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk di lingkungan jabatannya;
4          atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan
5          menghormati hak asasi  manusia dan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut di atas Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Demi efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan dari Atasan yang Berhak Menghukum tersebut dan untuk membantu supaya Atasan yang Berhak Menghukum dapat lebih memusatkan perhatian, tenaga, dan waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya, pelaksanaan penyidikan tersebut dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur.

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti permulaan yang sekurang-kurangnya terdiri dari laporan polisi ditambah salah satu bukti lainnya yang berupa berita acara pemeriksaan Saksi, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara, laporan hasil penyidikan sebagai alasan atau syarat untuk dapat menangkap seseorang yang diduga sudah melakukan tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

Pasal 77
Ayat (1)
Perintah penangkapan dikeluarkan oleh Atasan yang Berhak Menghukum/Komandan yang bersangkutan, dan dikeluarkan sebelum penangkapan dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas

Pasal 81
Ayat (1)
Penangguhan penahanan yang dimaksud pada ayat ini tidak berdasarkan jaminan. Yang dimaksud dengan "persyaratan yang ditentukan" adalah baik persyaratan umum bahwa ia tidak akan menyulitkan jalannya pemeriksaan, tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana, maupun persyaratan khusus ialah yang ditentukan oleh Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara, misalnya wajib lapor.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 82
Penggeledahan terhadap wanita dilakukan oleh pejabat Penyidik wanita atau wanita lain yang bukan penyidik yang ditunjuk oleh Penyidik.
Dalam hal Penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, Penyidik meminta bantuan kepada dokter atau pejabat lain yang ditunjuknya.

Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rumah" adalah bangunan, gedung, atau tempat lain yang dipakai sebagai tempat tinggal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ketua lingkungan" adalah pelaksana fungsi pemerintahan daerah yang senama dengan fungsi ketua rukun tetangga atau ketua rukun warga. Pengertian kepala desa atau ketua lingkungan termasuk pimpinan asrama di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keadaan yang sangat perlu dan mendesak" adalah apabila di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat Tersangka yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan Surat Perintah Penggeledahan dari Penyidik tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.
Pengertian tempat lain adalah termasuk penginapan dan tempat umum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Polisi Militer" adalah Polisi Militer yang bukan Penyidik.
Ayat (2)
Penggeledahan badan dilakukan dengan ketentuan, lihat Penjelasan Pasal 82.

Pasal 87
Cukup jelas

Pasal 88
Cukup jelas

Pasal 89
Cukup jelas

Pasal 90
Yang dimaksud dengan "surat yang diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari padanya" adalah termasuk surat kawat, surat teleks, dan surat lain yang sejenis yang mengandung suatu berita yang diperlukan dalam penyidikan.

Pasal 91
Cukup jelas

Pasal 92
Cukup jelas

Pasal 93
Ayat (1)
Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara dimaksud, benda sitaan negara tersebut disimpan di kantor Polisi Militer, atau kantor Oditurat, atau kantor Pengadilan, atau gedung Bank Pemerintah, dan dalam keadaan memaksa di tempat lain atau di tempat semula benda itu disita.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 94
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "diamankan" adalah tindakan penempatan atau penyimpanan terhadap benda-benda tertentu yang karena sifatnya mudah terbakar, meledak atau dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "benda sitaan yang bersifat terlarang" adalah benda yang dari keadaan hakikinya membahayakan bagi orang atau masyarakat, antara lain obat terlarang, ganja, narkotik dan sejenisnya, serta bahan peledak.
Yang dimaksud dengan "benda sitaan yang dilarang untuk diedarkan" adalah benda yang pada dasarnya tidak bersifat membahayakan tetapi karena dibuat untuk maksud atau memuat hal-hal tertentu yang terlarang sehingga dilarang untuk diedarkan, antara lain film porno, majalah porno, buku yang memuat paham atau ajaran aliran kepercayaan yang terlarang.

Pasal 95
Cukup jelas

Pasal 96
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat lain" adalah surat yang tidak langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 97
Cukup jelas

Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Ayat (1)
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh Pelapor. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh Penyidik dan ditandatangani oleh Pelapor dan Penyidik. Sesudah menerima laporan atau pengaduan, Penyidik atau Atasan yang Berhak Menghukum harus memberikan tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Pengaduan hanya dilakukan oleh orang yang berhak menurut ketentuan delik aduan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghentian penyidikan" adalah suatu tindakan untuk menghentikan penyidikan karena  tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau karena demi kepentingan hukum.

Pasal 102
Cukup jelas

Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila tidak ada petugas Polisi Militer, ditunjuk petugas lain. Sesuai dengan kewajiban hukum bahwa  setiap orang yang diperlukan sebagai Saksi di peradilan negara wajib hadir, dalam perkara yang Terdakwanya Prajurit, Saksi yang bukan prajurit wajib hadir memenuhi panggilan dan apabila tidak hadir tanpa alasan sah, dapat dikenakan upaya paksa.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 104
Cukup jelas

Pasal 105
Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, sejak dalam taraf penyidikan kepada Tersangka sudah dijelaskan bahwa Tersangka berhak didampingi Penasihat Hukum pada pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Pasal 106
Ayat (1)
Penasihat Hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 107
Ayat (1)
Apabila Saksi diambil sumpahnya, Penyidik wajib membuat berita acara pengambilan sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Saksi yang dapat menguntungkan Tersangka" antara lain adalah Saksi a de charge.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 108
Cukup jelas

Pasal 109
Apabila penyidikan di luar daerah hukumnya dilakukan oleh Penyidik semula, ia wajib didampingi oleh Penyidik dari daerah hukum di tempat penyidikan itu dilakukan.

Pasal 110
Cukup jelas

Pasal 111
Cukup jelas

Pasal 112
Cukup jelas

Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghuni" adalah bisa Tersangka baik ia sebagai pemilik rumah maupun bukan, bisa keluarga Tersangka, pemilik atau orang lain yang tinggal bersama Tersangka dalam waktu yang relatif lama.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 114
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penutupan tempat yang bersangkutan" adalah tindakan pembatasan sementara kebebasan keluar masuknya orang di tempat penggeledahan selama penggeledahan berlangsung.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 115
Ayat (1)
Penyidik yang melakukan penyitaan terlebih dahulu memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang atau keluarganya dari siapa benda tersebut disita dan dapat minta keterangan tentang benda tersebut dengan disaksikan oleh kepala desa, lurah atau ketua lingkungan termasuk komandan asrama/ kompleks Angkatan Bersenjata dengan 2 (dua) orang Saksi. Atas pelaksanaan penyitaan, Penyidik membuat berita acara yang sebelum ditandatangani oleh masing-masing terlebih dahulu dibacakan kepada orang atau keluarganya dari siapa benda tersebut disita, atau memberi kesempatan kepadanya untuk membaca berita acara. Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat mengenai berat dan jumlah menurut jenis masing-masing, ciri-ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda tersebut disita, dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh Penyidik. Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, Penyidik memberikan catatan seperti tersebut di atas, yang ditulis pada tanda sitaan yang ditempelkan pada benda tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 116
Cukup jelas

Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pejabat penyimpan umum" antara lain adalah pejabat yang berwenang dari Lembaga Arsip Nasional, Catatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 118
Cukup jelas

Pasal 119
Cukup jelas

Pasal 120
Yang dimaksud dengan "penggalian mayat" termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan.

Pasal 121
Cukup jelas

Pasal 122
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pejabat-pejabat di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang setingkat dengan jabatan Komandan Komando Resor Militer disesuaikan dengan ketentuan tingkat-tingkat jabatan (nevelering) yang berlaku di lingkungan Angkatan Bersenjata.

Pasal 123
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "upaya paksa" adalah upaya menghadapkan seseorang di luar Kemauannya kehadapan Penyidik.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Penyerahan perkara kepada Pengadilan yang berwenang mengandung maksud memerintahkan Oditur supaya perkara tersebut dilakukan penuntutan di persidangan Pengadilan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
"Perkara ditutup demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer" berarti perkara yang bersangkutan dihentikan penyidikannya atau dihentikan penuntutannya dan perkaranya tidak diserahkan ke Pengadilan.
Perkara ditutup demi kepentingan hukum antara lain karena tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, perkaranya kedaluwarsa, Tersangka/Terdakwa meninggal dunia, nebis in idem, telah dibayarkannya maksimum denda yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang ancaman pidananya berupa denda saja, atau dalam delik aduan pengaduannya sudah dicabut.
Perkara ditutup demi kepentingan umum/militer adalah perkara tidak diserahkan ke Pengadilan karena kepentingan negara, kepentingan masyarakat/umum dan/atau kepentingan militer lebih dirugikan dari pada apabila perkara itu diserahkan ke Pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan wewenang penyerahan perkara sehari-hari dilakukan oleh Oditur Jenderal.

Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Permintaan Oditur kepada Penyidik untuk melengkapi persyaratan formal dilakukan secara tertulis atau lisan.
Ayat (3)
Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk Oditur dan menyampaikan kembali berkas perkara.
Ayat (4)
Dalam hal perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, pemeriksaan Tersangka dengan bentuk Berita Acara Pemeriksaan Tersangkanya tidak dimungkinkan. Oleh karena itu surat panggilan dan Berita Acara tidak diketemukannya Tersangka, menjadi kelengkapan persyaratan berkas perkara untuk keperluan pemeriksaan perkara tanpa hadirnya Terdakwa (in absensia).

Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Jawaban tertulis dari Perwira Penyerah Perkara yang berisi pertimbangan terhadap pendapatnya akan menjadi dasar pengajuan perbedaan pendapatnya dengan Oditur ke Pengadilan Militer Utama untuk diputuskannya.

Pasal 126
Ayat (1)
Huruf a
Surat Keputusan Penyerahan Perkara diserahkan kepada Pengadilan yang berwenang melalui Oditur sebagai dasar pelimpahan dan penuntutan perkara yang bersangkutan di persidangan Pengadilan dan tembusannya diserahkan kepada Tersangka.
Huruf b
Surat Keputusan tentang penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit diserahkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum melalui Oditur supaya Atasan yang Berhak Menghukum menjatuhkan hukuman disiplin Prajurit.
Huruf c
Surat Keputusan Penutupan Perkara diserahkan kepada Oditur sebagai dasar penyelesaian perkara yang tembusannya disampaikan kepada Atasan yang Berhak Menghukum, Penyidik, Tersangka, atau Penasihat Hukumnya.
Dalam hal Tersangka ditahan, Oditur wajib segera membebaskannya dan apabila terdapat barang bukti, Oditur wajib segera mengembalikannya kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wajib" adalah Perwira Penyerah Perkara yang bersangkutan tidak boleh menolak untuk mengirimkan permohonan Oditur.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 128
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain" adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
1)         oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
2)         oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
3)         oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain tetapi satu dengan yang lain itu ada hubungannya" adalah bahwa masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain, tetapi karena menyangkut objek atau perbuatan yang sama atau berkaitan, tindak pidana yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya.

Pasal 129
Cukup jelas

Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal Terdakwanya sipil, yang dimaksud dengan "jabatan" adalah pekerjaan. Mengenai pangkat, nomor registrasi pusat dan kesatuan tidak diberlakukan kepadanya.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 131
Cukup jelas

Pasal 132
Pelimpahan perkara berlaku terhitung sejak berkas perkara diterima dan diregistrasi oleh Pengadilan.

Pasal 133
Cukup jelas

Pasal 134
Cukup jelas

Pasal 135
Cukup jelas

Pasal 136
Cukup jelas

Pasal 137
Ayat (1)
Huruf a
Kewenangan menahan beralih kepada Pengadilan dan berlaku sejak berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan dan diregistrasi.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 138
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan pemeriksaan" adalah pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan "gangguan fisik atau mental yang berat" adalah gangguan kesehatan fisik dan mental Terdakwa yang tidak memungkinkan untuk diperiksa di persidangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 139
Cukup jelas

Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "orang lain" adalah keluarga atau Penasihat Hukum Terdakwa.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "jawaban secara tidak bebas" adalah jawaban yang diberikan tidak berdasarkan kemauannya sendiri karena adanya rasa ketakutan atau tertekan akibat adanya tekanan atau paksaan atau ancaman dari yang memeriksa.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas

Pasal 142
Ayat (1)
Pengawalan adalah tindakan pengamanan terhadap diri Terdakwa sesuai dengan tata tertib persidangan dan dimaksudkan supaya tidak melarikan diri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kehadiran Terdakwa di persidangan merupakan kewajiban baginya sehingga Terdakwa harus hadir di persidangan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 143
Yang dimaksud dengan "pemeriksaan tanpa hadirnya Terdakwa dalam pengertian in absensia" adalah pemeriksaan yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cepat demi tetap tegaknya disiplin Prajurit dalam rangka menjaga keutuhan pasukan, termasuk dalam hal ini pelimpahan perkara yang Terdakwanya tidak pernah diperiksa karena sejak awal melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut, untuk keabsahannya harus dikuatkan dengan surat keterangan dari Komandan atau Kepala Kesatuannya. Penghitungan tenggang waktu 6 (enam) bulan berturut-turut terhitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke Pengadilan.

Pasal 144
Ayat (1)
Dalam hal Terdakwanya sipil yang dimaksud dengan "pangkat, jabatan, nomor registrasi pusat dan kesatuan", lihat Penjelasan  Pasal 130 ayat (2) huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal keadaan tertentu yang tidak memungkinkan Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna, Hakim Ketua dapat menentukan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 145
Cukup jelas

Pasal 146
Cukup jelas

Pasal 147
Cukup jelas

Pasal 148
Cukup jelas

Pasal 149
Cukup jelas

Pasal 150
Cukup jelas

Pasal 151
Cukup jelas

Pasal 152
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi diantara para Saksi, sehingga keterangan Saksi tidak dapat diberikan secara bebas.
Ayat (2)
Menjadi Saksi adalah salah satu kewajiban hukum setiap orang. Orang yang menjadi Saksi ke suatu sidang Pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.

Pasal 153
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Pasal 154
Ayat (1)
Huruf a
1.         Pengawalan adalah tindakan pengamanan terhadap diri Saksi sesuai dengan tata tertib persidangan.
2.         Dalam hal Saksi berstatus sebagai Tersangka, Terdakwa, atau narapidana dalam perkaranya sendiri, pengawalan dimaksudkan untuk mencegah Saksi melarikan diri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pertimbangan Hakim Ketua" adalah termasuk mempertimbangkan apakah Saksi korban atau Saksi lainnya yang akan didengar keterangannya terlebih dahulu.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal Saksi sipil, yang dimaksud dengan "jabatan" adalah pekerjaan. Mengenai pangkat, nomor registrasi pusat dan kesatuan tidak diberlakukan kepadanya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Saksi pada ayat ini termasuk Saksi ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 155
Cukup jelas

Pasal 156
Cukup jelas

Pasal 157
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pertanyaan dapat ditolak Hakim Ketua, apabila pertanyaan tersebut diajukan tidak berhubungan dengan perkara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 158
Ayat (1)
Untuk melancarkan jalannya pemeriksaan Saksi, dalam hal Hakim Ketua menganggap bahwa Saksi yang sudah didengar keterangannya mungkin akan merugikan Saksi berikutnya yang akan memberikan keterangan, sehingga perlu Saksi pertama tersebut untuk sementara diperintahkan ke luar dari ruang sidang selama Saksi berikutnya masih didengar keterangannya.
Ayat (2)
Apabila Terdakwa atau Oditur keberatan terhadap dikeluarkannya Saksi dari ruang sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), misalnya diperlukan kehadiran Saksi tersebut supaya ia dapat ikut mendengarkan keterangan yang diberikan oleh Saksi berikutnya demi kesempurnaan hasil keterangan Saksi, keberatan tersebut tidak diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 159
Cukup jelas

Pasal 160
Cukup jelas

Pasal 161
Ayat (1)
Jabatan atau pekerjaan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Apabila tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, seperti yang ditentukan pada ayat ini Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

Pasal 162
Mengingat bahwa anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Pasal 163
Ayat (1)
Apabila menurut pendapat Hakim seorang Saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila Terdakwa hadir dalam sidang, untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, Hakim dapat memerintahkan supaya Terdakwa dikeluarkan untuk sementara dari persidangan selama Hakim mengajukan pertanyaan kepada Saksi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 164
Cukup jelas

Pasal 165
Cukup jelas

Pasal 166
Cukup jelas

Pasal 167
Cukup jelas

Pasal 168
Cukup jelas

Pasal 169
Yang dimaksud dengan:
a.         "pertanyaan yang bersifat menjerat" adalah pertanyaan yang dapat memperdaya Terdakwa atau Saksi, sehingga baik Terdakwa maupun Saksi yang diperiksa tidak ada pilihan lain, kecuali menerangkan sesuatu sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memeriksa;
b.         "pertanyaan yang mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan Prajurit" adalah pertanyaan yang bersifat menekan dengan tanpa mengindahkan kedudukan, pangkat, harga diri, harkat dan martabat Prajurit yang diperiksa baik sebagai Terdakwa maupun sebagai Saksi, sehingga Prajurit tersebut terpaksa menerangkan sesuatu di luar kehendaknya.

Pasal 170
Cukup jelas

Pasal 171
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.

Pasal 172
Cukup jelas

Pasal 173
Ayat (1)
Dalam keterangan Saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan" adalah untuk mengingatkan Hakim supaya memperhatikan keterangan Saksi harus diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 174
Keterangan Ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Oditur yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah yang diucapkan pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Oditur pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan sesudah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Hakim.

Pasal 175
Cukup jelas

Pasal 176
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "surat yang dibuat oleh pejabat" adalah termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Pasal 177
Cukup jelas

Pasal 178
Ayat (1)
Apabila yang diganti adalah Hakim Ketua, Hakim Ketua yang mengganti harus mendengar kembali secara langsung keterangan Terdakwa dan Saksi yang pernah diberikan di sidang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila Terdakwa menggunakan Penasihat Hukum dari luar dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata dan ternyata berhalangan Terdakwa segera menunjuk penggantinya.

Pasal 179
Cukup jelas

Pasal 180
Cukup jelas

Pasal 181
Tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dihitung hari berikutnya sesudah hari pengumuman, perintah, atau penetapan dikeluarkan.

Pasal 182
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Terdakwa tidak dapat menulis, Panitera mencatat pembelaannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sidang dibuka kembali dimaksudkan untuk menampung fakta tambahan sebagai bahan untuk musyawarah Hakim.

Pasal 183
Ayat (1)
Maksud penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "kerugian bagi orang lain" adalah termasuk kerugian pihak korban.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 184
Cukup jelas

Pasal 185
Cukup jelas

Pasal 186
Cukup jelas

Pasal 187
Cukup jelas

Pasal 188
Ayat (1)
Musyawarah Hakim dilakukan di ruang musyawarah Hakim yang tertutup untuk umum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "termuda" adalah didasarkan atas pengertian atasan bawahan, menurut Hukum Disiplin Prajurit.
Ayat (4)
Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang Hakim Majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 189
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila Terdakwa tetap dikenai penahanan atas dasar alasan lain yang sah, alasan tersebut secara jelas diberitahukan kepada Kepala Pengadilan tingkat pertama sebagai pengawas dan pengamat terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengembalian perkara kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan menurut saluran Hukum Disiplin Prajurit" adalah apabila dalam persidangan tidak ditemukan fakta bahwa Terdakwa dalam perkara tersebut belum dijatuhi hukuman disiplin.

Pasal 190
Cukup jelas

Pasal 191
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan mengenai penyerahan barang bukti tersebut misalnya apabila sangat diperlukan untuk mencari nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian dan lain-lain.
Ayat (3)
Penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun Putusan Pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi harus disertai syarat tertentu antara lain barang bukti tersebut setiap waktu dapat dihadapkan ke Pengadilan dalam keadaan utuh.

Pasal 192
Cukup jelas

Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesudah diucapkan, Putusan tersebut berlaku baik bagi Terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Ketentuan bermaksud melindungi kepentingan Terdakwa yang hadir dan menjamin kepastian hukum secara keseluruhan dalam perkara ini.
Ayat (3)
Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya Terdakwa mengetahui haknya.

Pasal 194
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal Terdakwanya sipil yang dimaksud dengan  "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan dan kesatuan", lihat Penjelasan Pasal 130 ayat (2) huruf a.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan fakta dan keadaan di sini ialah segala apa yang ada dan apa yang ditemukan dalam sidang oleh pihak dalam proses, antara lain Oditur, Saksi, Ahli, Terdakwa, Penasihat Hukum, dan Saksi korban.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Ayat (2)
Kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf h, apabila terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan, kekhilafan dan kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 195
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pernyataan rehabilitasi" adalah memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya. Pernyataan rehabilitasi hanya dapat diberikan terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum kecuali yang ditentukan dalam Pasal 189 ayat (4).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 196
Cukup jelas

Pasal 197
Cukup jelas

Pasal 198
Cukup jelas

Pasal 199
Cukup jelas

Pasal 200
Cukup jelas

Pasal 201
Cukup jelas

Pasal 202
Cukup jelas

Pasal 203
Cukup jelas

Pasal 204
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dan terakhir" adalah putusan yang sudah dijatuhkan tidak dapat dimintakan upaya hukum banding tetapi dapat diajukan kasasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 205
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pengetahuan Hakim" adalah hal apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh Hakim di luar sidang mengenai hal-hal yang bersangkut-paut dengan perkara yang disidangkannya dan karenanya diyakini kebenarannya.
Huruf b
Surat keterangan yang dibuat atas sumpah oleh pejabat yang bersangkutan tersebut memuat antara lain jenis barang, jumlah barang, tempat, serta waktu penyitaan dan/atau ditemukan.

Pasal 206
Cukup jelas

Pasal 207
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hukuman mati tidak dapat dijalankan sebelum keputusan Presiden diterima oleh Kepala Oditurat.
Adapun pelaksanaan pidana mati dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 208
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Prosedur permohonan grasi adalah sebagai berikut:
a.         permohonan grasi disampaikan kepada Pengadilan yang sudah memutus pada tingkat pertama, untuk selanjutnya berkas perkara yang dimintakan grasi diteruskan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama;
b.         Pengadilan Militer Utama, sesudah menerima berkas perkara yang dimintakan grasi, melengkapi pendapat dan pertimbangan hukum sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal untuk selanjutnya diteruskan kepada Mahkamah Agung;
c.         Mahkamah Agung segera meneruskan berkas perkara yang dimintakan grasi tersebut kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman.

Pasal 209
Cukup jelas

Pasal 210
Cukup jelas

Pasal 211
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perkara pelanggaran tertentu" adalah:
a.         menggunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban dan keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
b.         mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kedaluwarsa;
c.         membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi;
d.         tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain;
e.         membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan;
f.          pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan, dan/atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu/marka jalan atau tanda yang ada di permukaan jalan;
g.         pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan/atau cara memuat dan membongkar barang; atau
h.         pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan.
Ayat (2)
Berita acara pelanggaran lalu lintas berisi identitas Tersangka, tempat dan waktu terjadinya pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, jenis pelanggaran dan pasal yang dilanggar, serta ditandatangani oleh Tersangka dan Penyidik.
Surat dakwaan sekaligus berisi tuntutan pidana yang ditandatangani oleh Oditur.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Petikan surat keputusan segera disampaikan kepada Terpidana melalui Oditur dan dicatat dalam buku perkara dan berita acara sidang. Bukti bahwa Oditur sudah menyampaikannya kepada Terpidana dikirim kepada Panitera.
Ayat (5)
Permohonan banding dari Terdakwa diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah putusan diucapkan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas

Pasal 212
Yang dimaksud dengan "alat bukti" adalah alat bukti surat yang berupa berita acara pelanggaran lalu lintas.

Pasal 213
Cukup jelas

Pasal 214
Cukup jelas

Pasal 215
Cukup jelas

Pasal 216
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bantuan hukum yang diberikan atas perintah" adalah bantuan hukum yang diberikan oleh dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata, sedangkan yang dimaksud dengan "bantuan hukum yang dengan seizin dari Perwira Penyerah Perkara" adalah bantuan hukum yang disediakan oleh Terdakwa sendiri dari luar dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Ayat (2)
Dalam hal perkara koneksitas disidangkan di Pengadilan, Penasihat Hukum yang mendampingi Terdakwa sipil di samping harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya, juga harus seizin Kepala Pengadilan menurut Undang-undang ini.

Pasal 217
Cukup jelas

Pasal 218
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengawasan" adalah melihat hubungan dan/atau mendengar isi pembicaraan antara Penasihat Hukum dengan Tersangka atau Terdakwa. Pengawasan dilakukan oleh Penyidik, Oditur, atau petugas Rumah Tahanan Militer.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan haknya" adalah menggunakan hak menghubungi dan berbicara dengan Tersangka atau Terdakwa untuk kepentingan lain selain kepentingan pembelaan perkara yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 219
Cukup jelas

Pasal 220
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengumuman dilaksanakan melalui papan pengumuman Pengadilan yang memutus atau melalui surat kabar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 221
Cukup jelas

Pasal 222
Cukup jelas

Pasal 223
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "selama 7 (tujuh) hari" adalah waktu yang diberikan kepada Terdakwa dan/atau Oditur untuk mempelajari berkas perkara, dihitung mulai hari berikutnya sesudah yang bersangkutan menyatakan banding.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 224
Cukup jelas

Pasal 225
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam perkara pidana Terdakwa menurut undang-undang dapat ditahan, sejak permintaan banding diajukan, Pengadilan Militer Tinggi/Pengadilan Militer Utama yang menentukan ditahan atau tidaknya.
Apabila penahanan yang dikenakan kepada Terdakwa mencapai tenggang waktu yang sama dengan pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi kepadanya, ia harus dibebaskan seketika itu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 226
Cukup jelas

Pasal 227
Ayat (1)
Perbaikan dalam hal ada kelalaian dalam penerapan hukum acara harus dilakukan sendiri oleh Pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 228
Cukup jelas

Pasal 229
Cukup jelas

Pasal 230
Cukup jelas

Pasal 231
Cukup jelas

Pasal 232
Cukup jelas

Pasal 233
Cukup jelas

Pasal 234
Cukup jelas

Pasal 235
Cukup jelas

Pasal 236
Cukup jelas

Pasal 237
Cukup jelas

Pasal 238
Cukup jelas

Pasal 239
Cukup jelas

Pasal 240
Cukup jelas

Pasal 241
Cukup jelas

Pasal 242
Cukup jelas

Pasal 243
Cukup jelas

Pasal 244
Cukup jelas

Pasal 245
Ayat (1)
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum merupakan kewenangan yang melekat pada Oditur Jenderal selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 246
Cukup jelas

Pasal 247
Cukup jelas

Pasal 248
Pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta peninjauan kembali suatu putusan  perkara pidana yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 249
Cukup jelas

Pasal 250
Cukup jelas

Pasal 251
Cukup jelas

Pasal 252
Cukup jelas

Pasal 253
Cukup jelas

Pasal 254
Cukup jelas

Pasal 255
Cukup jelas

Pasal 256
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pidana kurungan" adalah termasuk kurungan pengganti denda.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 257
Cukup jelas

Pasal 258
Cukup jelas

Pasal 259
Cukup jelas

Pasal 260
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "secara berimbang" adalah pembebanan ganti rugi kepada para Terpidana seimbang berdasarkan penilaian Hakim.

Pasal 261
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tenggang waktu 1 (satu) bulan" adalah waktu selama 30 (tiga puluh) hari dihitung hari berikutnya sesudah putusan dijatuhkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 262
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "pengawasan oleh Atasan yang Berhak Menghukum" adalah pengawasan pelaksanaan pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Terpidana yang berada di bawah wewenang komandonya.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 263
Cukup jelas

Pasal 264
Cukup jelas

Pasal 265
Ayat (1)
Hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Angkatan Bersenjata untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Badan atau pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Angkatan Bersenjata untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang  dikeluarkan  dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tersebut. Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan Pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, hal yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Angkatan Bersenjata ini terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan supaya keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang sudah merugikan kepentingan Penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa urusan administrasi Prajurit sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ayat (2)
Ketentuan-ketentuan pada ayat ini:
a.         memberikan petunjuk kepada Penggugat dalam menyusun gugatannya supaya dasar gugatan yang diajukan itu mengarah kepada alasan yang dimaksudkan pada huruf a, huruf b, dan  huruf c;
b.         merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi pengadilan dalam menilai apakah Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Suatu Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat dinilai "bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku" apabila keputusan yang bersangkutan itu:
a.         bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal.
Contoh: Sebelum keputusan pemberhentian tidak dengan hormat dikeluarkan seharusnya Prajurit yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
b.         bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial.
Contoh: Keputusan di tingkat banding administratif, yang sudah salah menyatakan gugatan Penggugat diterima atau tidak diterima.
c.         dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang tidak berwenang.
Contoh: Peraturan dasarnya sudah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk mengambil keputusan.
Dasar pembatalan ini sering disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap penentuan norma-norma hukum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan maksud tertentu.
Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan demikian, peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna mencapai hal-hal yang di luar maksud  tertentu. Dengan begitu wewenang materiil Badan atau
Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata juga terbatas pada ruang lingkup maksud bidang khusus yang sudah ditentukan dalam peraturan dasarnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "upaya administrasi" adalah upaya mengajukan keberatan dan memperoleh keputusan dari Badan/Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan.
Ayat (4)
Upaya administrasi yang akan diatur dengan Keputusan Panglima adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang Prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit apabila ia tidak menerima Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan Angkatan Bersenjata, dalam bentuk penyelesaian yang harus dilakukan oleh atasan Badan/Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang mengeluarkan keputusan yang tidak diterima.

Pasal 266
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tempat kedudukan Tergugat" adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi tempat kediaman Penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada Pengadilan Militer Tinggi tempat kediaman Penggugat untuk diteruskan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan. Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera Pengadilan Tinggi Militer tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang. Panitera Pengadilan Tinggi tersebut berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada Penggugat mengenai gugatan Penggugat tersebut. Sesudah gugatan itu ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, atau dibubuhi cap jempol Penggugat yang tidak pandai baca tulis, dan dibayar uang muka biaya perkara, Panitera yang bersangkutan:
a.         mencatat gugatan tersebut dalam daftar perkara khusus untuk itu;
b.         memberikan tanda bukti pembayaran uang muka biaya perkara dan mencantumkan nomor registrasi perkara yang bersangkutan;
c.         meneruskan gugatan tersebut kepada Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
Cara pengajuan gugatan tersebut di atas tidak mengurangi kompetensi relatif Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penggugat yang berada di luar negeri dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 267
Cukup jelas

Pasal 268
Ayat (1)
Dalam hal Penggugatnya orang sipil yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan dan kesatuan", lihat Penjelasan Pasal 130 ayat (2) huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam kenyataan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan Penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, untuk kepentingan pembuktian, ia harus melampirkan pada gugatan yang diajukan. Tetapi, baik Penggugat yang tidak memiliki Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan maupun pihak ketiga yang terkena akibat hukum keputusan tersebut tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu.
Dalam rangka pemeriksaan persiapan, Hakim selalu dapat meminta kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan untuk mengirimkan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang sedang disengketakan itu kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang.
Dengan kata "sedapat mungkin" tersebut ditampung semua kemungkinan termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 269
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Surat kuasa dalam ayat ini dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tempat surat kuasa tersebut dibuat.
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 270
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "uang muka biaya perkara" adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak Penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya meterai, biaya saksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang, dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim.
Uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan kembali kalau perkaranya sudah selesai. Dalam hal Penggugat kalah dalam perkara dan ternyata masih ada kelebihan uang muka biaya perkara, uang kelebihan tersebut akan dikembalikan kepadanya.
Apabila ternyata uang muka biaya perkara tersebut tidak mencukupi, ia wajib membayar kekurangannya. Sebaliknya, dalam hal Penggugat menang dalam perkara, uang muka biaya perkara dikembalikan seluruhnya kepadanya.
Uang muka biaya perkara yang harus dibebankan kepada Penggugat tersebut di atas hendaknya ditetapkan serendah mungkin sehingga dapat dipikul oleh Penggugat selaku pencari keadilan. Ketentuan tentang pembayaran uang muka biaya perkara dalam pasal ini berlaku juga dalam hal gugatan yang diajukan menurut Pasal 266 ayat (3).
Ayat (2)
Sesudah pembayaran uang muka biaya perkara dipenuhi, kepada Penggugat diberikan tanda bukti penerimaan yang berisi nomor registrasi perkara serta jumlah uang muka biaya perkara yang sudah dibayarkan.
Pembayaran biaya perkara diwajibkan bagi mereka yang mampu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 271
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Atasan Penggugat yang dimaksud pada ayat ini adalah Komandan/Kepala dari Kesatuan Administrasi Pangkal setingkat Komandan Batalyon.
Ayat (3)
Ketidakmampuan ini ditentukan oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi berdasarkan penilaiannya yang obyektif.

Pasal 272
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal permohonan bersengketa dengan cuma-cuma dikabulkan, Pengadilan Militer Tinggi mengeluarkan penetapan yang salinannya diberikan kepada Pemohon dan biaya perkara ditanggung oleh Negara.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 273
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pokok gugatan" adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan.
Atas dasar fakta tersebut Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karena itu mengajukan tuntutannya.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "surat pos tercatat" termasuk penyampaian melalui caraka atau sejenisnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 274
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesudah menerima salinan surat gugatan, Tergugat dapat mengirim jawaban secara tertulis kepada Pengadilan dan salinannya dikirim juga kepada Penggugat. Pengiriman surat jawaban atas gugatan Penggugat oleh Tergugat tersebut tidak mengurangi kewajiban Tergugat hadir di persidangan.

Pasal 275
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan surat pos tercatat yang ditandatangani oleh para pihak atau kuasanya merupakan tanggal dimulainya perhitungan tenggang waktu minimum antara panggilan dan hari sidang.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 276
Cukup jelas

Pasal 277
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Hakim diberi kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan persiapan sebelum memeriksa pokok sengketa. Dalam kesempatan ini, Hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata mengingat bahwa kedudukan Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Karena tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a itu tidak bersifat memaksa, Hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima kalau Penggugat baru sekali diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 278
Berbeda dengan Hukum Acara Perdata, dalam Hukum Acara Tata Usaha Militer, Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan keputusan yang sudah dikeluarkannya terhadap tuduhan Penggugat bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum. Akan tetapi, selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi, Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata itu harus dianggap sah menurut hukum. Proses di muka Pengadilan Militer Tinggi memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar Hukum Acara Tata Usaha Militer yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, Hukum Acara Tata Usaha Militer merupakan sarana hukum untuk menolak anggapan tersebut dalam keadaan konkret. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh   Pengadilan Militer  Tinggi, Keputusan  Tata Usaha  Angkatan Bersenjata yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dapat dilaksanakan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, Penggugat dapat mengajukan permohonan supaya selama proses berjalan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu diperintahkan untuk ditunda.
Pengadilan Militer Tinggi akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tersebut hanya apabila:
a.         terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu apabila kerugian yang akan diderita Penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tersebut; atau
b.         Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan militer dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan negara.

Pasal 279
Cukup jelas

Pasal 280
Cukup jelas

Pasal 281
Cukup jelas

Pasal 282
Cukup jelas

Pasal 283
Cukup jelas

Pasal 284
Perubahan gugatan diperkenankan hanya dalam arti menambah alasan yang menjadi dasar gugatan sampai dengan tingkat replik. Penggugat tidak boleh menambah tuntutannya yang akan merugikan tergugat di dalam pembelaannya. Jadi yang diperkenankan ialah perubahan yang bersifat mengurangi tuntutan semula. Sebagaimana halnya dengan Penggugat, Tergugat pun dapat mengubah alasan yang menjadi dasar jawabannya hanya sampai dengan tingkat duplik. Pembatasan ini dimaksudkan supaya dapat diperoleh kejelasan tentang hal yang menjadi pokok sengketa antara para pihak.

Pasal 285
Cukup jelas

Pasal 286
Cukup jelas

Pasal 287
Cukup jelas

Pasal 288
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Pejabat Pengadilan yang berwenang" adalah Pejabat yang secara hirarkis berkedudukan lebih tinggi dari pada Hakim yang bersangkutan;
Misalnya:
Apabila sengketa diadili oleh Hakim Pengadilan Militer Tinggi, Pejabat yang berwenang adalah Kepala Pengadilan Militer Tinggi. Apabila sengketa diadili oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi, Pejabat yang berwenang adalah Kepala Pengadilan Militer Utama.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 289
Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan Hakim Ketua dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya persidangan supaya pemeriksaan tidak berlarut-larut.
Oleh karena itu, cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada kehendak para pihak, tetapi Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan militer dan kepentingan umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh adanya sengketa itu.

Pasal 290
Para pihak dapat mempelajari berkas perkara sebelum, selama, atau sesudah pemeriksaan, dan pemutusan perkara.

Pasal 291
Cukup jelas

Pasal 292
Ayat (1)
Ayat ini mengatur kemungkinan bagi orang atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:
a.         pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya supaya ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan Militer Tinggi dalam sengketa yang sedang berjalan.
Untuk itu, ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya. Putusan sela Pengadilan Militer Tinggi atas permohonan tersebut dimasukkan dalam Berita Acara Sidang.
Apabila permohonan itu dikabulkan, ia di pihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut Penggugat Intervensi.
Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, terhadap putusan sela Pengadilan Militer Tinggi itu tidak dapat dimohonkan banding. Sudah tentu pihak ketiga tersebut masih dapat mengajukan gugatan baru di luar proses yang sedang berjalan asalkan ia dapat menunjukkan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan gugatannya memenuhi syarat.
Contoh: B istri Kapten A menggugat Panglima Komando Daerah Militer supaya surat izin kawin yang kedua dengan wanita C dibatalkan dengan alasan persyaratan, yaitu surat persetujuan dari B selaku istri dan surat keterangan dokter yang dibuat oleh Dokter N yang menyatakan bahwa B tidak dapat melahirkan keturunan adalah palsu. C yang mengetahui adanya gugatan dari B, dengan kehendak sendiri, ingin membela atau mempertahankan kepentingannya sebagai istri sah Kapten A, yaitu supaya ia jangan sampai dirugikan oleh Putusan Peradilan Militer Tinggi dalam sengketa yang sedang berjalan. Untuk itu, C mengajukan permohonan yang disertai dengan alasan dari hal yang dituntut.
Apabila permohonannya dikabulkan, C sebagai pihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut Penggugat Intervensi.
b.         Adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan karena permintaan salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat).
Di sini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu diikutsertakan dalam proses perkara, dengan maksud supaya pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya.
Contoh: B istri Kapten A menggugat Panglima Komando Daerah Militer supaya surat izin kawin Kapten A dengan wanita C dibatalkan karena surat persetujuan dari B selaku istri dan surat keterangan dokter yang dibuat oleh Dokter N yang menyatakan bahwa B tidak dapat melahirkan keturunan adalah palsu. Menurut Dokter N keterangan yang dibuatnya itu memang benar palsu dan terpaksa dibuat karena dipaksa oleh Kapten A. Untuk itu, B memohon supaya Dokter N sebagai pihak ketiga untuk diikutsertakan dalam proses perkara. Hal itu dimaksudkan supaya Dokter N bergabung dengan B untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya. Dalam hal itu, Dokter N sebagai pihak ketiga akan berkedudukan sebagai Penggugat Intervensi II karena permintaan salah satu pihak, yaitu Penggugat.
c.         Masuknya pihak ketiga ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa Hakim yang memeriksa perkara itu.
Contoh: B istri Kapten A menggugat Panglima Komando Daerah Militer agar surat izin kawin Kapten A dengan wanita C dibatalkan karena surat persetujuan dari B selaku istri dan  surat keterangan  dokter yang dibuat oleh Dokter N yang menyatakan bahwa B tidak dapat melahirkan keturunan adalah palsu. Apabila C tidak diikutkan dalam proses gugatan B ini akan merugikan kepentingannya. Walaupun C tidak mempunyai keinginan sendiri untuk memasuki proses gugatan B ini, atas prakarsa Hakim yang memeriksa perkara gugatan B dimasukkan sebagai pihak ketiga dalam proses perkara sebagai Tergugat Intervensi II.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 293
Cukup jelas

Pasal 294
Cukup jelas

Pasal 295
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menjadi Saksi adalah salah satu kewajiban hukum setiap orang.
Seseorang yang dipanggil menghadap sidang pengadilan untuk menjadi Saksi tetapi menolak kewajiban itu dapat dipaksa untuk dihadapkan di persidangan dengan bantuan Polisi Militer/Polisi.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur pendelegasian wewenang pemeriksaan Saksi. Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang mendelegasikan wewenang itu mencantumkan dalam penetapannya dengan jelas hal atau persoalan yang harus ditanyakan kepada Saksi oleh Pengadilan Militer Tinggi yang diserahi delegasi wewenang tersebut. Dari pemeriksaan Saksi tersebut dibuat berita acara yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera Pengadilan Militer Tinggi yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang memberikan delegasi wewenang di atas.

Pasal 296
Ayat (1)
Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh Hakim Ketua. Saksi yang sudah diperiksa harus tetap di dalam ruang sidang kecuali Hakim Ketua menganggap perlu mendengar Saksi yang lain di luar kehadiran Saksi yang sudah didengar itu, misalnya apabila Saksi  lain yang akan diperiksa itu berkeberatan memberikan keterangan dengan tetap hadirnya Saksi yang sudah didengar.
Ayat (2)
Dalam hal Saksinya sipil yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan dan kesatuan", lihat Penjelasan Pasal 154 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 297
Cukup jelas

Pasal 298
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Martabat yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia misalnya kedudukan seorang pastor yang menerima pengakuan dosa, kedudukan seseorang tokoh pimpinan masyarakat yang banyak mengetahui rahasia anggota masyarakatnya.
Ayat (2)
Apabila tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan atau jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, Hakimlah yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk pengunduran diri tersebut. Hakim pulalah yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mengundurkan diri yang berkaitan dengan martabat.

Pasal 299
Cukup jelas

Pasal 300
Cukup jelas

Pasal 301
Cukup jelas

Pasal 302
Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai Saksi di Pengadilan tidak dibebankan sebagai biaya perkara.

Pasal 303
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum", misalnya Saksi sudah sangat tua, atau menderita penyakit yang tidak memungkinkannya hadir di persidangan.

Pasal 304
Cukup jelas

Pasal 305
Cukup jelas

Pasal 306
Cukup jelas

Pasal 307
Cukup jelas

Pasal 308
Ayat (1)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dikaitkan dengan isi tuntutan Penggugat.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata ini dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 309
Ayat (1)
Kepentingan Penggugat dianggap cukup mendesak apabila menyangkut Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang misalnya berisikan perintah kepada seorang Prajurit untuk mengosongkan rumah dinas yang ditempatinya. Sebagai kriteria mendesak dapat digunakan alasan-alasan permohonan yang memang dapat diterima. Dalam hal ini, yang dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan juga keputusannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 310
Cukup jelas

Pasal 311
Cukup jelas

Pasal 312
Cukup jelas

Pasal 313
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "termasuk keterangan ahli" adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 314
Cukup jelas

Pasal 315
Cukup jelas

Pasal 316
Cukup jelas

Pasal 317
Cukup jelas

Pasal 318
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat menentukan sendiri:
a.         apa yang harus dibuktikan;
b.         siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara, dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;
c.         alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; dan
d.         kekuatan pembuktian bukti yang sudah di ajukan.

Pasal 319
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengertian surat pos tercatat, lihat Penjelasan Pasal 273 ayat (2) huruf b.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 320
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal Penggugatnya orang sipil, yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, dan kesatuan", lihat Penjelasan Pasal 268 ayat (1).
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf  f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Panitera" adalah mencakup juga Panitera Pengganti yang membantu Hakim dalam persidangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 321
Cukup jelas

Pasal 322
Cukup jelas

Pasal 323
Dalam hal ada putusan  Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir, penetapan tentang biaya perkaranya ditangguhkan, dan dicantumkan dalam amar putusan akhir Pengadilan Militer Tinggi.

Pasal 324
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Panitera hanya boleh memberikan salinan putusan Pengadilan apabila putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila diperlukan, salinan putusan Pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap pada salinan tersebut harus dibubuhi keterangan "belum memperoleh kekuatan hukum tetap".

Pasal 325
Cukup jelas

Pasal 326
Cukup jelas

Pasal 327
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "14 (empat belas) hari" adalah 14 (empat belas) hari menurut perhitungan tanggal kalender.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "uang muka biaya perkara", lihat Penjelasan Pasal 270 ayat (1).

Pasal 328
Sesuai dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir tidak dapat diajukan permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri.
Prinsip tersebut selalu berusaha menghindarkan dijatuhkannya putusan Pengadilan Militer Tinggi yang tidak merupakan putusan akhir.

Pasal 329
Cukup jelas

Pasal 330
Cukup jelas

Pasal 331
Cukup jelas

Pasal 332
Cukup jelas

Pasal 333
Cukup jelas

Pasal 334
Cukup jelas

Pasal 335
Cukup jelas

Pasal 336
Cukup jelas

Pasal 337
Cukup jelas

Pasal 338
Ayat (1)
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tenggang waktu 3 (tiga) bulan tidak bersifat memaksa.
Kepala Pengadilan Tinggi tentu akan berlaku bijaksana sebelum menyurati atasan Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan  mengenai apa yang dimaksud pada ayat ini.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Dalam hal atasan Tergugat bukan Panglima, Pengadilan Militer Tinggi mengajukan hal itu kepada Presiden melalui Panglima.
Dalam hal atasan Tergugat adalah Panglima, Pengadilan Militer Tinggi dapat mengajukan hal itu langsung kepada Presiden.

Pasal 339
Cukup jelas
Pasal 340
Cukup jelas

Pasal 341
Cukup jelas

Pasal 342
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Besarnya ganti rugi ditentukan dengan memperhatikan keadaan yang nyata.

Pasal 343
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban rehabilitasi hanya terdapat pada sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam bidang administrasi personel. Rehabilitasi ini merupakan pemulihan hak Penggugat dalam kemampuan, kedudukan, dan harkatnya sebagai Prajurit seperti semula sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam pemulihan hak tersebut termasuk juga yang ditimbulkan oleh kemampuan, kedudukan dan harkatnya sebagai Prajurit. Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan pada waktu putusan Pengadilan Jabatan tersebut ternyata sudah diisi oleh pejabat lain, yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula.
Akan tetapi, apabila hal itu tidak mungkin, yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama sesudah ada formasi dalam jabatan yang setingkat atau dapat di tempuh acara kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339.

Pasal 344
Cukup jelas

Pasal 345
Cukup jelas

Pasal 346

Cukup jelas

Pasal 347
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "petugas keamanan" adalah Polisi Militer. Apabila yang bersangkutan meninggalkan ruang sidang, petugas wajib mengembalikan benda titipannya.

Pasal 348
Cukup jelas

Pasal 349
Cukup jelas

Pasal 350
Cukup jelas

Pasal 351
Cukup jelas

Pasal 352
Cukup jelas

Pasal 353
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang selama ini hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana, berdasarkan Undang-undang ini juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Untuk mempersiapkan pelaksanaan kedua kewenangan tersebut di atas, khususnya dalam menyiapkan kemampuan tenaga Hakim serta penataan kelembagaan dan administrasi peradilannya, Pemerintah perlu melakukan persiapan yang cukup guna kemapanan terselenggaranya peradilan perkara pidana dan perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata sebaik-baiknya.
Guna mewadahi upaya persiapan tersebut di atas, sementara waktu pelaksanaan ketentuan tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3713