Wednesday, January 18, 2012
TUHAN, BERI KAMI PEMIMPIN SINTING
Jalan tol Jakarta. Tengah malam. Mobil saya kehabisan bensin. Ya, mogok. Dan saya sendirian. Bayangkanlah, betapa sialan! nyaris dari mulut saya meluncur caci maki. Namun, memaki siapa? Ya, memaki diri sendiri! lebih tepat, mengoreksi diri sendiri: "Salahnya, kenapa tidak siap? Periksa tangki bensin, sejak pagi?"
Setan dalam diri saya mulai mencari-cari kambing hitam pada orang lain. Nah, anak-anak dirumah jadi sasaran makian saya. "Kenapa nggak ingatkan Bapak? Periksa ini itu pada mobil? Termasuk bensin!" Uhh, sepinya jalan tol. Kiri-kanan penuh pohon. Angin malam pun ikut-ikut memperkental rasa sepi. Lebih tepat, "rasa ngeri"!
Saya merinding. Di tempat semacam inilah, menurut berita televisi dan koran, orang sering dirampok. Rasa negeri saya meninggi! Namun, segera saya tafakkur. "Alhamdulillah : engkau Tuhan, memberi saya kemampuan untuk berserah diri." sambil berserah diri, saya pun menegaskan : "Ini salah saya. kenapa orang lain yang harus kena getahnya?" Tahu-tahu, datanglah mobil derek. Ibarat ikan yang kehabisan air, datanglah bantuan. Ini tangan Tuhan. Setelah persetujuan, berapa saya bayar, mobil derek pun menarik mobil saya, cari pompa bensin.
Sopir mobil derek orang Batak. Pembantunya, Jawa. Sepanjang perjalanan keduanya asyik merokok dan berbicara politik. "Sialan!", kata Si Batak. "Kenapa pula yang jadi Presiden kita, perempuan? Perempuan itu kalau lagi ditindas, wajahnya bikin sedih. Aku pun sedihlah. Kutusuklah tanda gambar PDI-P. Supaya aku yang kurang makan ini, dipimpin oleh Presiden sedih. Artinya yang memilih dan yang dipilih, sama-sama orang tertindas!"
"Salah kamu sendiri," sahut pembantunya yang Jawa itu. "Ibu Mega itu, wajahnya memang memelas. Tapi sebagai orang politik, Mbak itu di sarang banteng bermata merah. Jadi jangan heran, jika si banteng lepas, berkuasa, tabrak sana tabrak sini."
Dan si Batak sambil tertawa-tawa keras meneriakkan gundah hatinya ke sepi malam, "Betul juga kamu! Aku ini cuma dapat tabrakan banteng, hooi, hua-ha-ha!" setelah itu Ia diam sebentar. Lalu kepada temannya ia bertanya, "Dan kamu sendiri? PPP? Hijau! Hijau!Hijauuu!
Dengan tenang si jawa (dengan gaya memelas), menjawab, "ya, begitulah. Sebenarnya tak tega saya bilang, yang namanya Hamzah Haz itu sungguh-sungguh andalan saya. Bukan PPP-nya. Eh, berdarah-darah kita orang kecil ini dengan tarif bensin, solar, listrik, dan terutama bahan-bahan pokok, tahu-tahu ia pergi haji.Tak tanggung-tanggung, rombongannya lebih seratus!"
"hmmmm, Mbak Mega nggak ke luar negeri seperti biasanya. Artinya ia tetap di tanah air. seakan bersama rakyat, berembuk, bagaimana sebaiknya tarif ini. tapi percuma saja. rakyat tak dianggap! Betul kamu, wajah lembutnya, berganti wajah banteng. Menyerunduk teruuus!", kata-kata panjang ini nyerocos dari mulut si Batak.
Saat itulah, saya menimpali, "lalu di Pemilu 2004, kalian pilih Presiden yang modelnya bagaimana?" Segera saja si Batak berseru-seru, tertawa-tawa, "Yang sinting, Bang, yang sinting! Pilih Presiden Sinting! Sintiiing!" Berteriak-teriak dia, lalu tiba-tiba diam. Ia pinggirkan mobilnya, berhenti. Ia menoleh kepada saya, mengurangi power suaranya. Dan dengan serius berucap, "Ya, Bang. Yang sinting, tapi, tapi apa ya? Ya, katakanlah, jujuuur. Gitu! Kayak Ali Sadikin! Banyak bicara, banyak kerja! Perbuatan ada di kata, kata ada di perbuatan!"
Lalu sunyi. Mobil derek pelan-pelan meluncur. mungkin kesunyian itu mewakili hati si Batak dan si Jawa, yang penuh harap-cemas, tentang masa depan bersama keluarga.
Tiba di pompa bensin, si Batak mendekati saya diiringi temannya. "Tentang sinting tadi, Bang! Maksud saya, ya, sintingnya pemimpin yang memihak rakyat! Gitu!" Yang Jawa, mengangguk-angguk. Saya tahu, mereka menagih bayaran. Saya keluarkan uang Rp 120.000,- sesuai perjanjian. Tetapi saya menjadi pucat merogoh-rogoh kantung. Uang saya pas untuk bayar mobil derek, tapi untuk bensin? Uang saya habis!
"Bung, rumah saya sudah dekat. saya butuh bensin sedikit saja, cukup untuk rumah. Tapi mengurangi tarif yang saya harus bayar kepada anda. Bisa ikut saya kerumah? Nanti di situ saya bayar kurangnya?" kata saya setengah memohon.
Kedua orang itu saling memandang. Si Jawa mengambil uang dari tangan saya. Lalu Rp. 10.000,- diserahkan kepada saya untuk bensin. Dan si Batak berkata: "Bang, kami berdua ini orang susah. Jadi hanya orang susah yang tahu kesusahan orang lain." keduanya naik mobil derek dan segera menghilang.
Kedua orang (rakyat kecil)itu berlalu. Pergi membenahi nasibnya. Tetapi wajah-wajah tulus (namun urakan) itu tak bisa hilang di ingatan batin saya. Itulah rakyat kecil yang kekuatannya terletak pada ketulusan; berkorban untuk orang lain!
Jika sang pemimpin memang representasi dari nurani rakyat, bacalah, lalu pinjamlah kejujuran dan ketulusannya. Serta kesiapannya untuk berkorban! Di sini, pamrih tergusur!
Saya terjemahkan "sinting" yang dimaksud si batak dan si jawa, dengan "Kepolosan untuk menerima risiko'! Kepolosan untuk berani melangkah di tengah penilaian orang-orang "vested" yang merasa terancam piring nasinya oleh kesintingan kreatif dan imajinatif! Kepolosan untuk menerobos status quo dan kemapanan! Kepolosan untuk berani menerima pujian! Kepolosan untuk berani menerima mundur, sebagai tanda, kekuasaan bukan segala-galanya!
Diramu menjadi satu "konsep diri", inilah yang disebut pemimpin yang memiliki "integritas paripurna" Tentu ada dimensi lain selain integritas teruji yang menjadi syarat seorang pemimpin! Dimensi lain itu: "kompetensi yang diakui dan komitmen yang terpercaya!"
Tiga dimensi dari syarat seorang pemimpin ini, saya kutip adri seorang calon Presiden masa datang (2004) yang tak perlu saya sebutkan namanya. Riwayat ketokohan dari tokoh ini, memang melekat dimensi-dimensi syarat kepemimpinan itu, ia akan muncul ke permukaan di 2004!
Tulisan ini saya akhiri dengan menyampaikan "tabik" kepada dua orang pengendara mobil derek, yang dalam kesusahannya, tulus membebaskan saya dari kesusahan. Pemimpin belajarlah dari rakyat kecil.
Rahman Arge
Pedoman Rakyat, 2 Maret 2003
Subscribe to:
Posts (Atom)