Powered By Blogger

Saturday, June 9, 2012

Benarkah “PENEGAKAN HUKUM KEHILANGAN MORALITAS” ?


BAB I 
PENDAHULUAN 

Penegakan hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada elite menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang kehilangan moralitas. Agar rasa keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga dan aparat penegak hukum perlu direformasi. Masyarakat perlu meneruskan gerakan moral untuk menolak praktik ketidakadilan. Keadilan tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung rasa kemanusiaan. Hukum hanya jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan menghargai sesamanya. Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta Direktur Newseum Taufik Rahzen secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya menolak tindakan hukum yang tegas kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap kasus besar, terutama korupsi. Terakhir, Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, menyatakan AAL (15) bersalah atas tuduhan mencuri sandal jepit milik seorang polisi. Menurut Taufik, perkara AAL hanya salah satu dari banyak kasus yang mengorbankan rakyat kecil dalam jerat hukum akibat kriminalitas sepele. Hukum yang semestinya melindungi dan menegakkan keadilan justru terasa tak adil. Semua itu mencerminkan arogansi elite yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur proses hukum. Tanpa memihak keadilan dan rakyat, hukum hanya prosedur yang kehilangan moralitas. Hukum menjadi permainan. Jika kondisi ini berlanjut, rakyat terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka mudah diincar jerat hukum. Akibat berikutnya, masyarakat bakal semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah. Herdi menilai, praktik hukum yang menindas rakyat menunjukkan berlanjutnya struktur dan mental kolonialisme dalam pemerintahan Indonesia. Birokrasi yang semestinya melindungi dan melayani rakyat justru menindas. Hukum untuk menjamin kepentingan modal dan elite. Reformasi hukum yang dicitrakan selama ini ternyata semu. ”Semua elemen bangsa harus mendorong reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman agar menjalankan hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi ini harus dikerjakan bersama oleh legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil society,” katanya. Masyarakat diharapkan terus menggalang solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal ini perlu kerja sama dengan semua tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial. Media juga perlu tetap mengawal hukum dan mendorong penegakan keadilan. Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj menegaskan, ketidakadilan yang terus-menerus dirasakan rakyat kecil telah membuat mereka tersinggung. Kekerasan dalam konflik antara rakyat dan aparatur negara, seperti polisi, sudah menjadi gambaran betapa rakyat merasa diperlakukan tidak adil oleh negara. Menurut Said, hukum seharusnya memberikan rasa keadilan untuk rakyat, tetapi malah mencederai hak yang seharusnya diterima rakyat. Keadilan diterjemahkan sebatas teks oleh penegak hukum tanpa melihat cerminan keinginan rakyat. ”Keadilan tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung rasa kemanusiaan. Hukum hanya jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan menghargai sesamanya. Kenyataannya, mereka yang korupsi ratusan miliar hingga triliunan rupiah dihukum ringan, sedangkan rakyat yang hanya mencuri sandal malah dengan sigap diperkarakan oleh polisi,” ujar Said. Menurut Said, beberapa kasus terakhir menunjukkan betapa hukum tak membela rakyat. Mencuri sandal memang salah, tetapi ada kesalahan yang lebih besar, seperti korupsi, yang seharusnya aparat bisa dengan cepat menindak. ”Rasa kemanusiaan kita terusik,” katanya. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menambahkan, rakyat marah melihat ketidakadilan terjadi di mana-mana. Polisi bertindak cepat ketika rakyat kecil yang melakukan kejahatan sepele, tetapi berdiam diri ketika ada kasus besar, seperti perampokan uang rakyat. Seharusnya, kata Din, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa sigap bertindak. Presiden harus melakukan perubahan besar. 

 RUMUSAN MASALAH 

1. Apakah terdakwa AAL dalam Kasus pencurian sandal jepit boleh ditahan di penjara?. 
2. Apakah Kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh AAL memenuhi unsur - unsur pasal pencurian?. 
3. Apakah Persidangan Kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh AAL yang tergolong anak (UU No 3/1997, Pasal 1 ayat 1) menyalahi prosedur karena Kasus ini mestinya sejak awal mendapat pendampingan dari lembaga perlindungan anak?. 

BAB II 
PENEGAKAN HUKUM KEHILANGAN MORALITAS 

1. TERDAKWA PENCURIAN SANDAL DIVONIS BERSALAH 

 Hakim Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah, Romel Tampubolon memvonis AAL (15), seorang pelajar Sekolah Menengah Kejuruan di Palu, terbukti mencuri sandal. Hakim tetap menyatakan AAL bersalah walaupun berdasarkan fakta persidangan menunjukkan sandal jepit yang diperkarakan oleh anggota polisi di Polda Sulawesi Tengah ternyata bukan milik yang bersangkutan. "Terlepas siapa pemilik sandal tersebut, tetapi terdakwa terbukti mengambil sandal yang bukan miliknya," kata hakim Romel Tampubolon pada sidang pembacaan putusan kasus sandal jepit itu, Rabu malam (4/1). Menurut hakim, tindakan terdakwa mengambil barang yang bukan miliknya adalah unsur melawan hukum dari sebuah pencurian. Meski dinyatakan bersalah, hakim Romel Tambubolan tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Hakim menjatuhkan tindakan dengan mengembalikan AAL kepada orang tuanya untuk mendapatkan pembinaan. Salah satu pertimbangan Romel menyatakan AAL bersalah adalah karena yang bersangkutan mengakui perbuatannya dalam persidangan. Terhadap barang bukti sandal bermerek Ando itu hakim menyatakan barang bukti tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan. Tim pengacara terdakwa yang diketuai Elvis DJ Kantuwu mengatakan belum dapat memutuskan untuk banding atas putusan hakim. "Kami meminta waktu satu minggu untuk berkonsultasi dengan kedua orang tua apakah banding atau tidak," kata Elvis. Sementara Kejaksaan Agung mengapresiasi putusan hakim yang sudah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. "Sudah ada putusan sidang sendal jepit. Putusannya sama dengan tuntutan JPU," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, Rabu (4/1). Dikatakan Noor, persidangan perkara ini memang digelar secara maraton. Pasalnya, sidang pembacaan tuntutan dan putusan digelar pada hari yang sama. Sebelumnya jaksa penuntut umum menuntut agar hakim mengembalikan AAL kepada orang tuanya. Tuntutan ini adalah bentuk jaksa yang mengedepankan hati nurani dalam menangani perkara anak. Sehingga tidak ada intervensi dari Jaksa Agung, full otoritas Kejati Sulteng sehingga hal ini sudah sesuai dengan pengadilan anak. Untuk diketahui, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak memang membolehkan hakim menjatuhkan tindakan terhadap anak nakal. Tindakan itu dapat berupa mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) kecewa dengan putusan hakim. Sebab walaupun tidak dihukum, namun di sisi lain hakim tetap menyatakan AAL terbukti mencuri. "Kita senang anak ini tidak dipidana penjara, tetapi pada sisi lain kami kecewa dengan putusan hakim seperti itu, karena bagaimana pun anak itu sudah dicap sebagai pencuri," kata Sofyan Farid Lembah dari Komnas PA Bidang Kapasitas dan Jaringan Kelembagaan, di Palu, Rabu malam. Menurut Sofyan (mantan dosen di Fakultas Hukum Universitas Tadulako) mengatakan, kejanggalan putusan hakim karena barang bukti bukan milik saksi pelapor, namun hakim tetap memutuskan terdakwa terbukti bersalah. "Kalau tidak ada pemiliknya berati pelapor tidak dirugikan. Dengan sendirinya gugur sebagai pelapor karena bukan miliknya. Seharusnya dakwaan terhadap terdakwa digugurkan," katanya. Menurut Sofyan, dengan mencap terdakwa sebagai orang yang mencuri berdasarkan keyakinan hakim, padahal barang bukti yang diambil tidak ada pemiliknya, sehingga bisa saja dilakukan oleh orang lain. "Orang lain bisa saja menuduh orang mengambil barang yang bukan miliknya, kemudian yang bersangkutan dituduh mencuri dan menyiksa seorang anak," kata Sofyan. Selain itu, lanjut Sofyan, hakim mestinya perlu melihat sisi lain bahwa proses pengajuan kasus ini tidak sesuai prosedur penanganan anak. Kasus ini mestinya sejak awal mendapat pendampingan dari lembaga perlindungan anak. 

2. PENCURIAN RINGAN DIBAWAH Rp 2,5 JUTA TIDAK DITAHAN 

Kasus pencurian dengan nilai kerugian sangat minim mengoyak rasa keadilan. Apalagi jika barang yang dicuri berada di tempat umum. Seperti kasus pencurian sandal jepit oleh AAL dan pencurian kakao oleh Mbok Minah dan Rasminah, pencuri 6 piring. Guna merespon rasa keadilan masyarakat, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang menyatakan terdakwa seperti kasus di atas dilarang ditahan di penjara. Perma tersebut diumumkan oleh MA dengan Nomor 2/2012 mengenai Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Jika sebelumnya yang disebut tindak pencurian ringan (Tipiring) yang nilainya kurang dari Rp 250, kini diubah menjadi Rp 2,5 juta. "Dengan keluarnya Perma ini maka jika selama ini kasus pencurian seperti kasus Rasminah tidak bisa dikenakan lagi pasal 362 KUHP tentang pencurian biasa. Kasus Rasminah harus dikenakan pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan, (Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju, pada detikcom, Selasa (28/2/2012). ICJR adalah unsur masyarakat yang dilibatkan dalam pembuatan Perma tersebut. Karena kasus Rasminah cs masuknya pencurian ringan maka hakim tidak boleh menahan terdakwa. Selain itu ancaman hukumannya pun maksimal hanya 3 bulan penjara. "Namun Perma ini hanya berlaku untuk internal pengadilan. Artinya saat terdakwa di kepolisian dan kejaksaan bisa saja ditahan," papar Anggara. Keberanian MA membuat lembaga kepolisian dan kejaksaan tertantang untuk melakukan perubahan paradigma tersebut. "Kalau MA saja berani, bagiamana dengan lembaga penegak hukum lain? Saya kira polisi dan jaksa pun harus berani tidak menahan tersangka yang diancam pidana sesuai pasal 364 KUHP tersebut," papar Anggara. Adapun pasal 364 KUHP yang dimaksud yaitu perbuatan pencurian jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250 rupiah dipidana dengan penjara paling lama 3 bulan, diubah menjadi barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 2,5 juta. saya kurang setuju dengan pendapat sofyan di atas, anak itu mengakui mengambil sendal dan unsur - unsur pasal pencurian terpenuhi berarti memang Ia pencuri. Hukum pidana adalah hukum publik dan delik di atas bukan merupakan delik aduan jadi biar pun si pelapor tidak dirugikan, hukum publik adalah antara pemerintah dengan pihak, bukan pihak dengan pihak dimana bila ada salah satu yang dirugikan baru menggugat. Seorang pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Palu menjadi terdakwa di sidang Pengadilan Negeri Palu, Selasa (20/12) karena dituduh mencuri sandal jepit milik seorang polisi. Terdakwa AA (15) dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan didampingi 10 pengacara. Pada sidang yang dipimpin Rommel F Tampubolon sebagai hakim tunggal itu, AA didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Naseh melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP atas tuduhan mencuri sandal jepit merek "Ando", milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Kejadian itu berlangsung pada November 2010 di sebuah tempat kos, Jalan Zebra I A, Kelurahan Birobuli Utara, Kecamatan Palu Selatan. Pencurian itu, versi dakwaan jaksa, bermula ketika terdakwa bersama temannya pulang sekolah dan lewat di tempat kos yang ditempati Briptu Ahmad. Saat itu, AA mengambil sandal di tempat kos itu lalu memasukkan ke dalam tas. Pada 27 Mei 2011, terdakwa bersama temannya Hamka kembali melintas di lokasi kejadian. Saat itulah, Briptu Ahmad bertanya kepada terdakwa dan saksi soal sandal miliknya yang hilang. "Jangan bilang tidak, sandal saya sudah tiga kali hilang di sini," kata JPU menirukan ucapan Ahmad saat itu. Di hadapan hakim, terdakwa mengakui jika dirinya pernah mengambil sepasang sandal merek "Ando" di tempat kos yang ditempati korban tersebut. Merasa pernah kehilangan sandal merek "Ando", korban meminta terdakwa untuk mengambil sandal itu untuk diperlihatkan dan ternyata sandal tersebut memang milik korban yang pernah hilang di tempat kos. "Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban mengalami kerugian materil sekitar Rp35 ribu atau setidak-tidaknya lebih dari Rp250," kata JPU Naseh. Selain pembacaan dakwaan, sidang perdana itu dilanjutkan dengan pemeriksaan dua orang saksi yang dihadirkan oleh JPU yakni Simson dan saksi korban Briptu Ahmad. Ditemui usai persidangan, Elvis Katuvu, salah satu Penasehat Hukum terdakwa prihatin atas kasus itu. Menurut Elvis, kasus itu terlalu kecil dibanding banyaknya kasus-kasus besar lainnya yang ditangani oleh aparat hukum dan belum jelas penyelesaiannya, termasuk kasus korupsi. Sidang kasus pencurian sandal jepit itu mengundang perhatian pengunjung bahkan sejumlah jaksa yang saat itu tengah berada di PN Palu penasaran dan ingin mengetahui kasus itu. Pengunjung yang sebagian besar wanita mengaku prihatin dan heran atas kasus pencurian sandal yang harus masuk ke Pengadilan Negeri Palu. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa waktu lalu juga sempat menyidangkan perkara serupa. DS, seorang anak yang tinggal di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat diseret ke persidangan karena dituduh mencuri kartu perdana sebuah operator seluler yang nilainya tak lebih dari Rp10 ribu. DS sempat ditahan di tahap penyidikan dan penuntutan. Di persidangan, hakim dalam putusan selanya menyatakan surat dakwaan jaksa batal demi hukum sehingga perkara DS harus dihentikan dan DS harus segera dikeluarkan dari tahanan. Penyebabnya adalah hakim menilai penyidikan terhadap DS tidak sah karena sejak ditangkap, ditahan dan diperiksa DS tak didampingi oleh pengacara. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengadukan kasus pencurian sandal yang menghukum AAL (15), seorang pelajar sekolah menengah kejuruan di Palu, ke Komisi Yudisial (KY). Sebab, vonis bersalah yang dijatuhkan hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Palu, Romel F Ginting itu dinilai janggal. “Rasanya ada ketidakadilan dalam vonis bersalah dalam kasus AAL karena dalam proses peradilan ditemukan beberapa kejanggalan dalam proses peradilan,“ kata Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor saat beraudiensi dengan Komisioner KY Imam Anshori Saleh di Gedung KY, Senin (9/1). Maria menegaskan kejanggalan itu terlihat adanya perbedaan antara barang bukti yang diajukan di persidangan dan barang curian yang dituduhkan (didakwakan, red). Kejanggalan kedua, dalam putusan tidak disebutkan AAL bersalah mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap (saksi pelapor) bermerek Eiger. “AAL tetap divonis bersalah mencuri sandal meski sandal yang dicuri bukan milik Briptu Ahmad Rusdi. Padahal menurut ahli (Seto Mulyadi, red) yang juga berkoordinasi dengan kita menyatakan tidak ada bukti yang menyimpulkan AAL mencuri karena sandal itu (merek Ando, red) ditemukan tidak di depan pintu, tetapi di jalan, saksi lainnya menyebutkan ditemukan di depan pagar,” bebernya. Karena itu, pihak meminta KY untuk menindaklanjuti pengaduan atas putusan kasus ini. “Putusan ini menimbulkan polemik, fakta seperti itu kenapa bisa divonis bersalah. Selanjutnya kami mohon KY bisa mem-follow up pengaduan atas putusan kasus ini sebagai hasil monitoring KPAI,” pintanya. Dalam kesempatan itu, KPAI menyerahkan beberapa pasang sandal jepit secara simbolis kepada Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh yang diperoleh dari posko masyarakat di beberapa kota termasuk di Bali, Lombok. “Beberapa pasang sandal jepit ini secara simbolis juga diberikan di beberapa lembaga terkait,” akunya. Merespon pengaduan ini, Imam mengaku telah mengirimkan surat permintaan resmi untuk meminta putusan kasus AAL ini kepada PN Palu. “Jum'at (6/1) kemarin, suratnya sudah saya tanda tangani untuk meminta putusan itu karena kita harus memperoleh putusan resminya untuk mengetahui pertimbangannya seperti apa? Termasuk pertimbangan hakim terkait barang bukti yang berbeda itu,” kata Imam. Selain itu, pihaknya sejak awal telah meminta posko jejaring KY yang ada di kota Palu untuk memantau perkembangan kasus AAL ini hingga vonis. Imam berharap dalam waktu dekat sudah bisa memperoleh salinan putusan dan laporan hasil pemantauan posko kasus AAL ini. “Hasil itu akan kita buat anotasinya, lalu dibahas di tingkat panel, bila perlu kita akan minta klarifikasi hakimnya,” katanya. Hakim Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah, Romel Tampubolon memvonis AAL lantaran terbukti mencuri sandal jepit. Meski berdasarkan fakta persidangan menunjukkan sandal jepit merek Ando nomor 9,5 yang dijadikan barang bukti bukan milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap (saksi pelapor). Padahal, dalam dakwaan disebutkan AAL dituduh mencuri sandal merek Eiger nomor 43 milik Ahmad Rusdi. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan terlepas siapa pemilik sandal (Ando, red) tersebut, tetapi terdakwa AAL terbukti mengambil sandal yang bukan miliknya karena AAL mengakui perbuatannya dalam persidangan. Menurut hakim, tindakan terdakwa mengambil barang yang bukan miliknya adalah unsur melawan hukum dari sebuah pencurian. Meski dinyatakan bersalah, hakim Romel Tambubolan tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Hakim menjatuhkan tindakan dengan mengembalikan AAL kepada orang tuanya untuk mendapatkan pembinaan. Terhadap barang bukti sandal bermerek Ando itu hakim menyatakan barang bukti tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan. Atas putusan ini, tim pengacara AAL yang diketuai Elvis DJ Kantuwu akan mengajukan banding terhadap putusan ini karena tidak sesuai dengan fakta di persidangan. Menurutnya, seharusnya AAL bebas murni karena fakta persidangan menyebutkan barang yang diambil AAL tidak ada pemiliknya. 

3. ANTARA PENCURI SANDAL JEPIT DENGAN PARA KORUPTOR 

Isu yang tengah berkembang dan banyak mendapat perhatian masyarakat luas termasuk media massa. Dimana AAL, seorang siswa kelas 1 SMK di Palu, Sulawesi Tengah diajukan ke pengadilan atas kasus dugaan pencurian sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Kasus yang menimpa anak di bawah umur (15 tahun) ini mendapat perhatian serius dari Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Menurut Seto Mulyadi, semua pihak yang terkait kasus ini baik kepolisian maupun kejaksaan bersalah. Sanksi bagi kenakalan anak-anak seharusnya dikembalikan kepada orang tua anak bersangkutan, bukan di jerat dengan hukuman penjara. Selain itu Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat mengumpulkan 1.000 sandal jepit sebagai bentuk solidaritas buat AAL. Setelah terkumpul 1.000 sandal jepit, kemudian dititipkan ke mabes polri untuk diserahkan kepada Briptu Ahmad Rusdi si pemilik sandal jepit yang hilang di curi. Rakyat marah karena tindakan dari pihak dalam hal ini aparat yang seharusnya melindungi masyarakat, ternyata menyeretnya ke dalam penjara. Mencuri dapat diartikan “mengambil sesuatu yang bukan miliknya”. Tindakan mencuri merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh peraturan apapun di dunia ini. Menurut hukum agama, mencuri adalah tindakan dosa. Menurut hukum negara, mencuri adalah tindakan melawan hukum. Begitu juga menurut norma adat yang berlaku diseluruh daerah di Indonesia bahwa mencuri adalah perbuatan yang melanggar adat. Memang wajar seseorang yang melanggar hukum agama, hukum negara, dan norma-norma adat diberi hukuman. Namun perlu diperhatikan siapa dan apa tujuan seseorang melakukan pencurian dan dalam hal ini tentunya tidak lepas dari keputusan yang diambil oleh Hakim dalam menegakkan keadilan di Negara ini. "Antara Pencuri Sandal Jepit Dengan Para Koruptor" Kedua tindakan tersebut adalah melawan hukum karena sama-sama mencuri. Namun perlu dibedakan tindakan yang dilakukan seorang anak yang mencuri sandal jepit dengan tindakan seorang pejabat yang mencuri uang negara (korupsi). Seorang anak nekat mencuri mungkin karena kemiskinan sehingga tidak mampu membelinya. Sedangkan seorang pejabat mencuri uang negara (korupsi) bukan karena kemiskinan, tapi demi memperkaya diri atau kelompoknya (adanya keterkaitan aparatur di dalamnya), hal ini juga yang mengakibatkan sulitnya aparat penegak hukum menangani kasus Korupsi. Inilah yang membuat sebagian besar rakyat marah karena banyak para pelaku korupsi (koruptor) di negara ini yang belum disentuh hukum, sementara anak kurang mampu yang mencuri sandal jepit saja dijerat hukum. Siapa yang tidak pernah dalam hidupnya melakukan kesalahan seperti mencuri?. Sebagian besar orang tentu pernah melakukan kesalahan, baik kesalahan ringan maupun berat. Apalagi seorang anak dalam masa pertumbuhan sering melakukan kesalahan karena dalam masa tersebut anak sedang mencari jati dirinya. Perlu peran orang tua mengawasi dan mengarahkan anaknya supaya tidak terjerumus dalam tindakan salah. Orang tua harus mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan anaknya. Apabila seorang anak melakukan kesalahan seperti mencuri, maka orang tua harus menasehatinya. Siapa sebenarnya yang saya maksud ORANG TUA di sini? Mereka adalah ayah dan ibu sebagai keluarga dekatnya, orang sekitar lingkungan anak, dan penegak hukum sebagai aparatur negara. Bukankan semua warga negara dilindungi oleh hukum dan undang-undang? Dengan arti kata semua warga negara berkewajiban untuk melindungi anak. Menanggapi kasus anak seperti yang menimpa AAL, saya tidak setuju bila dijatuhi hukuman penjara, karena perkembangannya akan terganggu. Lagi pula sebenarnya tujuan seseorang dipenjara adalah untuk memberikan efek jera. Efek jera sangat tepat diberikan kepada seorang koruptor, karena koruptor adalah orang dewasa yang telah bisa membedakan antara yang benar dengan yang salah. Jadi aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum harus membedakan kesalahan seorang pencuri sandal jepit dengan seorang koruptor yang mencuri uang negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya. 

BAB III 

PENUTUP 

1. KESIMPULAN 

Meskipun secara hukum tidak ada yang salah dalam proses itu, dan tidak ada pihak yang harus dipersalahkan. akan tetapi sudah saatnya dilakukan evaluasi ulang terhadap sistem peradilan pidana kita khususnya yang berkaitan dengan anak. Telah ada SKB 5 menteri tentang ABH, namun di sisi lain penegak hukum tetap dengan pendiriannya yang fomal legalistik. maka upaya politik hukum khususnya melakukan reorientasi terhadap sistem hukum, mengalami kendala berat. KUHP merupakan warisan yang didasarkan ideologi yang mengagungkan individu, sehingga perlindungan terhadap kepentingan perseorangan lebih dominan. Bagi kita apakah cara seperti itu tetap akan dipertahankan ? atau perlu dicari modus baru. Usaha melakukan reformasi di bidang hukum pidana terkadang dibelenggu oleh cara berfikir yang formal legalistik, demi kepastian hukum. padahal yang lebih utama adalah demi keadilan. jika kepastian hukum mengabaikan keadilan seharusnya usaha itu harus hentikan. Hukum yang kita jalankan merupakan warisan abad ke 19 yang secara filosofis dan teoritis tidak relevan lagi dengan saat ini. selama paradigma berfikir masih mengagungakan individualisme, maka konsep seperti diversi, resorative justice tidak akan membumi. padahal konsep itu berasal dari kearifan di dunia bagian timur termasuk Indonesia, akan tetapi sayangnya kita lebih silau dan terpana dengan sistem hukum barat. Kini saatnya kita melakukan evaluasi dan bahkan reformasi terhadap sistem hukum kita. Pancasila itu rujuan mutlak. dalam Hukum Pidana, sudah seharusnya nilai-nilai Pancasila dikedepankan, itulah musyawarah mufakat. akan tetapi bangsa ini salah kaprah, nilai luhur tersebut dicampakkan diganti dengan nilai sekularisme. sehingga muncul ungkapan keadilan itu hanya di pengadilan, maka yang terjadi kasus-kasus remeh temeh di bawa ke sidang. ini merupakan kelalaian legislaltif yang hanya sekali tahun 1960 meninjau pidana denda, sehingga dalam kasus pencurian hakim pasti akan menjatuhkan sanksi penjara, karena nilai denda tersebut sudah tidak relevan lagi saat ini. Persoalan sperti ini yang harus dipriortaskan oleh badan legislasi, bukan memperbanyak undang-undang, akan tetapi minus keadilan atau sarat kepentingan sesaat. selagi mainstream tidak dirombak total, selama itu kasus seperti AAL ini akan berulang. Jawabannya klise, "telah sesuai dengan hukum positif" kini kita boleh menyimpulkan bahwa kepastian hukum terkadang menjadi racun bagi tegaknya keadilan. ironisnya kepastian hukum inilah yang disanjung-sanjung dan diperjuangkan di pengadilan. para hakim dan siapapun yang merasa dirinya penegak hukum, hukum lebih luas dari pada sekedar UU, apalagi UU yang berasal dari negeri orang, walaupun masih merupakan ius consitutum akan tetapi sudah selayknya dikembangkan ius operatum sebagaimana pernah ditempuh oleh hakim Bismar Siregar. Kini diskresi yang ditempuh oleh beliau langka dilakukan. salah satunya karena resiko politik yang akan ditanggung oleh aparat hukum yang progresif. Selama KUHP dan mentalitas aparat hukum seperti saat ini, maka jeritan keadilan hanya menjadi pepesan kosong. Karena "hukumnya mengatakan seperti itu". padahal --- sekali lagi--- hukum yang dimaksud merupakan hukum yang asing bagi Indonesia sendiri. Law abiding citizen tidak pernah terwujud selama penegakan hukum diartikan hanya penegakan undang-undang meskipun bertentangan dengan keadilan dan hati nurani. lalu hendak ke mana bangsa ini ? 

 2. SARAN

JANGAN HUKUM TAJAM KEBAWAH DAN TUMPUL KE ATAS PENJARA ADALAH TEMPATNYA BAGI KORUPTOR DAN TERORIS
Demikanlah, semoga bermanfaat. Terima kasih

No comments:

Post a Comment